Senin, 04 November 2013

3 Kategori Ibadah Menurut Ali bin Abi Thalib

Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah membagi amalan ibadah kaum muslimin ke dalam tiga katagori.
Pertama, golongan orang yang beribadah karena mengharapkan sesuatu dari Allah swt. Ia beribadah karena pamrih. Golongan itu dikatagorikan sebagai Ibadatut-Tujjaar, ibadahnya pedagang. Dalam prinsip ekonomi, seseorang melakukan usaha dimaksudkan untuk mendapatkan untung. Jika perlu dengan pengorbanan yang sedikit mendapatkan hasil yang banyak. Demikian pula dalam hal ibadah, mereka pilih-pilih di antara ibadah yang paling banyak mendatangkan keuntungan.
Ibadah macam ini diperbolehkan, karena Allah sendiri dalam berbagai ayat-Nya telah memotivasi ummat Islam agar gemar melaksanakan ibadah dengan iming-iming pahala yang banyak. Di antaranya adalah surga. Beribadah dengan mengharapkan surga itu hal yang lumrah. Salah satu contohnya Allah berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS an-Nisaa: 122)
Masalahnya kemudian adalah bahwa pahala itu tidak langsung diterima pada saat seseorang melakukan suatu amalan ibadah, melainkan disimpan untuk kehidupan di akhirat. Penundaan ini menjadikan banyak orang tidak sabar. Maunya cepat menikmati. Karenanya kemudian banyak orang jadi enggan atau bermalas-malasan melakukan ibadah. Mereka merasa bahwa pahala itu kurang riil, tidak cash, dan waktu pengambilannya teralu lama.
Golongan ibadatut-tujjar ini tampak kurang konsisten dalam beribadah. Ada pasang surut sesuai dengan kondisi kantungnya. Jika kantongnya tebal, ia rajin shalat dan ibadah lainnya. Tapi jika kantongnya lagi kosong, iapun tak segan meninggalkannya.
Kedua dari orang yang beribadah adalah mereka yang menjalankan rangkaian ibadah karena takut siksa Allah. Karenanya mereka dikelompokkan Ali ra sebagai 'Ibadatul-'Abid (Ibadahnya Seorang Budak). Seorang budak mempunyai mental yang khas, yaitu ia baru bekerja atau melakukan sesuatu jika disuruh dan disertai ancaman. Ia merasa bahwa hasil dari amalannya itu bukan untuk dirinya.
Seorang budak baru mau bekerja jika ada "upah". Jika upahnya besar, ia rajin. Sebaliknya jika upahnya biasa-biasa saja, ia cenderung bermalas-malasan. Bagi budak seperti ini kecenderungannya memilih yang wajib-wajib saja, sedangkan yang sunnah dikurangi.
Ibadah seperti seorang budak tidak menjadi soal, boleh-boleh saja. Asal ibadahnya ikhlas semata-mata karena Allah, pasti diterima. Jika ia minta balasan surga, Allah akan memberinya. Jika ia ingin lepas dari siksa neraka, Allah juga mengabulkannya. Beribadah seperti pedagang atau seperti seorang budak bagi Allah tidak jadi soal. Yang dipersoalkan-Nya adalah niat yang ikhlas lillahi ta'ala. Sedikit saja ada noda yang mengotori niat ini, ibadahnya akan menjadi cacat. Bisa jadi tidak diterima.
Dari dua katagori di atas, ada sekelompok orang yang beribadah bukan karena menginginkan surga atau pahala, juga bukan karena takut ancaman Allah berupa siksa nereka. Kelompok ini beribadah kepada Allah semata-mata karena rasa syukurnya. Jika kepada mereka ditanyakan, seandainya tidak ada surga dan neraka, apakah tetap akan beribadah, dengan suara mantap mereka akan menjawab: Ya, saya akan tetap beribadah.
Jika dikejar dengan pertanyaan apa gunanya, orang tersebut tentu akan balik bertanya, 'Bukankah saya patut bersyukur telah dijadikan Allah sebagai manusia, makhluq yang paling mulia? Bukankah pantas bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi saya akal dan fikiran yang sehat? Bukankah wajar bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi hidayah sehingga saya menjadi seorang mukmin?'
Suatu malam 'Aisyah melihat suaminya, Rasulullah saw sedang asyik menjalankan shalat malam. Lama sekali beliau berdiri, ruku' dan sujud. Manakala beliau berdo'a bergemuruh dari dalam dadanya, bergetar seluruh badannya, dan tumpah seluruh air matanya. Malam itu Rasulullah benar-benar tenggelam dalam munajat kepada Allah swt. Melihat hal itu 'Aisyah merasa iba, kemudian bertanya, 'Wahai, bukankah Anda seorang Rasul, kekasih Allah? Bukankah Anda seorang yang ma'shum, yang dihindarkan dari berbuat salah dan dosa? Bukankah Anda seorang yang segala doanya dikabulkan oleh Allah? Jika demikian, kenapa Anda bersusah-payah berdiri di malam hari sampai kakinya bengkak, menangis hingga matanya sembab?'
Rasulullah hanya menjawab pendek, 'Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?'
Kualitas ibadah yang dijalani seseorang yang didorong oleh rasa syukurnya tentu sangat berbeda dengan kualitas ibadahnya bisnismen atau budak. Jika pebisnis beribadah sangat tergantung pada tebal tipisnya kantong, maka ibadahnya orang yang bersyukur tidak kenal situasi. Dalam segala kondisi, baik sedang sedih atau gembira, susah atau mudah, ia tetap menjalankan ibadah.
Mutu ibadahnya seorang budak sangat tergantung pada besar kecilnya upah, berat ringannya ancaman siksa, tapi bagi seorang yang beribadah didorong oleh manifestasi syukurnya, hal itu tidak menjadi masalah. Tanpa upah sedikitpun, ia tetap beribadah. Bahkan andaikata ia ditetapkan masuk neraka, ia tetap beribadah.
Bagi orang yang sudah pada tingkatan ini, permintaannya hanya satu, ridha Allah semata-mata. Tentang akan ditempatkan di mana, surga atau neraka itu tidak menjadi soal. Bukankah ia juga yakin bahwa Allah itu Maha Kasih dan Sayang. Tentu Allah tidak akan menempatkan kekasih yang diridhai-Nya di tempat yang menyengsarakannya. Mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang yang diridhai di dalam satu tempat yang diridhai, yaitu surga. Kepada mereka, Allah berseru:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr: 27-30)•

3 komentar:

  1. Di perbaiki lagi tata cara penulisannya, bisa diberi alenia/paragraf supaya lebih rapih, dan mudah dibaca

    BalasHapus