Betapa halusnya nafsu itu
tapi dampaknya begitu besar menggebu
setiap ada keinginan untuk berbuat tercela itulah nafsu
dan saat benar-benar melakukan keinginan tercela itu
benarlah dengan nyata tipu daya nafsu telah menjerumuskan ke lembah kelabu
Hanya cahaya kalbu buah dari iman itu
yang dapat mencegah agar tak tertipu
terselamatkan terbawa ketepi kesadaran tertuju
dengan rasa syukur tak terbatas waktu
Terus menerus nafsu akan menjadi musuh selalu
bersama di alam dunia keberadaanmu
bentengi tanpa henti dengan amal dan ilmu
sebelum semuanya menjadi gelap gulita begitu
Kamis, 28 November 2013
Senin, 25 November 2013
QODHO’, IRODAH, QODAR, IZIN ALLOH dan MASYI’AH
PEMAHAMAN TENTANG QODHO’, IRODAH, QODAR, IZIN ALLOH dan MASYI’AH
Manusia sejak dilahirkan kedunia telah mendapati fenomena-fenomena atau kenyataan yang ada dalam kehidupan yang adakalanya dapat masuk dan difahami dalam batas pemikirannya, ada pula tetap menggelayut menjadi suatu misteri yang tanpa ujung jawaban. Manusia mengalami masa yang telah dilalui (kemarin) dan dia melihat masa itu menyisakan perkara-perkara yang menjadi cacatan kehidupannya. Hari ini dia pun hidup dan merasakan kehidupan tapi entah apakah dirinya berpikir tentang hari yang dijalaninya, atau dia mengalir tanpa arah dan tujuan. Menghadapi masa yang akan datang (esok) yang merupakan masa yang diselimuti misteri tentang keberadaanya.
Keumuman sikap manusia dalam taraf basyar (UMUM). Inilah yang disinyalir dalam surat al-Jatsiyah ayat 26;
قُلِ اللَّهُ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيبَ فِيهِ وَلَكِنَّ أَكَثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (45:26)
Ketika derajatnya meningkat satu tahap yakni menjadi insan, manusia lebih peduli terhadap kehidupan dan makna kehidupan dirinya, masa (al-dhar) dipandang bukan suatu yang misteri, ia adalah sesuatu yang riil, dan senantiasa berada dalam dimensi pemikirannya, celakanya dia terjeلاak pada ilusi semata, yakni dunia ini adalah material semata. Jika tanpa kendali dia menjadi sebuah bola liar menuju suatu faham materialisme. Suatu paham yang menistakan keberadaan Dzat Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan hari esok (akhirat). Inilah potret manusia yang dilukiskan pada surat al-An’am ayat 29;
َوَقَالُواْ إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
” Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”.(QS 6:29)
Berbeda, jika kehidupan dunia ini dipandang oleh khairul ummah (manusia yang paripurna) dengan piranti yang dimiliki; indra, akal dan hati, dia mendapati kehidupan sesungguhnya senantiasa berada pada tiga dimensi, yakni dimensi realiatas (ainul yaqin), dimensi kesadaran (‘Ilma yaqin) dan dimensi spiritual (haqul yaqin). Dunia (dekat, cepat, binasa) adalah lintasan menuju dunia sesungguhnya dunia tanpa batas (akhirat) . Inilah potret Ulul Albab yakni potret tahap awal menuju kesempurnaan khairu ummah.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Menjadi tingkat ulul albab belumlah menjadi jaminan manusia bisa meraih kehidupan sebenarnya, derajat muttaqi lah seorang manusia akan melihat dan merasakan kehidupan sebenarnya yakni kehidupan berdasarkan aturan dan tujuan yang memberi kehidupan itu sendiri. Muttaqi dan setingkat lebih tinggi darinya yakni atqaq adalah orang yang menjalani kehidupan dengan aturan dan petunjuk yang benar, petujuk Al-Qur’an petunjuk hidup manusia yang menuntun kepada kebahagian yang sebenarnya.
Al-Qur’an adalah petunjuk terbesar disamping petujuk-petunjuk lain yang menuntun seorang muttaqi meraih kebahagiaan hakiki. Al-Qur’an adalah media komunikasi antara Khaliq dan mahluk, sebuah komunikasi melewati bahasa arab sebagai bahasa pilihan diantara bahasa-bahasa yang ada didunia. Didalamnya ada ribuan ayat dengan ragam style. Muhkam, mutasyabih, amm, khas, adalah diantara ragam-ragam ayat al-Qur’an yang penuh eksotik. Disamping itu untaian kata yang membentuk istilah-istilah Qur’ani bersebaran bagai bintang-bintang yang sukar digenggam maksud dan tujuannya. Dan juga bagai mutiara yang perlu usaha keras untuk menggapainya karena dalamnya samudra al-Qur’an itu sendiri. Inilah sisi ‘izajul Qur’an (mukzijat al-Qur’an) sepanjang zaman.
Diantara eksotikasi istilah al-Qur’an, adalah apa yang disebut musytarak (memiliki ragam arti), wujuhul ma’na (ragam maksud), muradif (sinonim), mutaradif (mirip) yang semuanya menjadi khazanah pergulatan pemikiran yang tiada hentinya. Ketidakpuasan terhadap maksud suatu istilah al-Qur’an, mendorong seorang muttaqi untuk menggali kembali dari maksud istilah tersebut. Beragam metode yang ditawarkan oleh para ahli sebagai piranti untuk menggali makna dan maksud istilah-istilah tersebut. Diantaranya dengan method tafsir maudhu’I (tematik) dan sastra yang dianggap oleh sebagian ahli sebagai metode yang cukup efektif untuk eksplorasi tafsir istilahi.
Diantara kajian istilah yang menjadi pergulatan pemikiran para ahli adalah perkara yang berhubungan dengan bidang teologis, atau lebih tepatnya jabariyah (paksaan) dan qadariyah (pilihan) terhadap amal dan prilaku manusia. Keduanya bermuara dari beberapa istilah al-Qur’an yang memungkinkan terjadinya perbedaan sudut pandang dalam memahaminya ketika berada pada suatu ayat. Istilah-istilah ini antara lain :
1. Qodho’ Allah
2. Irodhah Allah
3. Qodar (takdir) Allah
4. Izin Allah
5. Masyi’ah Allah
Ke-limanya adalah laksana mutiara didalam samudra yang mungkin untuk dapat diraih, dengan dasar inilah, penulis mencoba menelaah dan mengkaji dari keempatnya sebagai mana berikut ini.
I. QODHO’ Allah
Qodho’ (قضي) qa-dha-ya muncul dalam al-Qur’an kurang lebih 37 ayat dalam beragam penjelasan dan pemahaman. Ia termasuk istilah yang tergolong mustaroq (memiliki arti lebih dari satu). Secara lafadz, Qodho’ (قضي) memiliki arti sebagai berikut;
1. Qodho’ (قضي) sama dengan (أخبر) akh-ba-ro (menginformasikan), sebagaimana dalam firman-Nya
وَقَضَيْنَا إِلَيْهِ ذَلِكَ الأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَؤُلاء مَقْطُوعٌ مُّصْبِحِينَ
Dan telah Kami informasikan kepadanya (Lut) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh. (15:66)
Ayat lain Al-Isra :4 Al-Qasas : 44
2. Qodho’ (قضي) semakna dengan (أمر) a-ma-ra (memerintahkan) lawan dari (نهى) na-ha (melarang), sebagaimana dalam firman-Nya
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (17:23)
3. Qodho’ (قضي) semakna dengan(أخر) Aa-kha-ra (mengahiri sesuatu), sebagaimana firman-Nya
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).(28:15)
Ayat lain yang semakna Al-Qasas :28, Al-Ahzab :23
4. Qodho’ (قضي) semakna dengan (أراد) a-ra-da (hendak/ketetapan) atau kehendak ilahi yang operatif, sebagaimana firman-Nya
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (19:35)
إِِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia.(16:40)
Makna ke-empat inilah yang dimaksud dalam kajian ini, untuk selanjutnya,
Apa yang dimaksud dengan Qodho’ itu ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita lihat ayat-ayat berikut;
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (19:35)
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia. (16:40)
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (36:82)
هُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ فَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (40:68)
أَتَى أَمْرُ اللّهِ فَلاَ تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (16:1)
يُنَزِّلُ الْمَلآئِكَةَ بِالْرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُواْ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنَاْ فَاتَّقُونِ
Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (16:2)
Dari ayat-ayat diatas, maka Qodho’ tidak lain Irodah adalah amr-Nya (ketetapan). Pada 4 ayat pertama diikuti dengan kalimat yang tetap “yaqulu”, “naqulu” yang artinya bahwa ketetapan Allah yang operatif tidak akan terjadi kecuali dengan “qaul-Nya”. Sedangkan “qaul-Nya” adalah yang “al-haq” yang “riil” yakni kalimat-kalimat-Nya. Sedangkan “kalimat-kalimat-Nya” tiada lain adalah realitas wujud itu sendiri dengan hukum-hukum obyektifnya. Artinya qadha (ketetapan ) yang pasti itu akan terealisasi melalui sesuatu yang telah ditentukan. Yakni syarat-syarat objektif yang terakumulasi dalam sebuah kitab. Misalnya qodho’kemenangan dalam peperangan akan terelalisasi apabila telah terpenuhinya syarat-syarat objektif untuk menang yang terakumulasi dalam “kitab kemenangan”. Jika syarat-syarat objektifnya tidak terpenuhi sampai kapan pun tidak akan ada (takdir) kemenangan dalam peperangan.
Sedangkan pada dua ayat terahir (Al-Nahl :1-2) amr-Nya tidak diikuti “qoul-Nya” dalam bentuk kalimat “qouluhu” “qulna”,”naqulu” dan “kun fayakunu”, maka yang dimaksud amr-Nya disini adalah awamir (perintah-perintah) sebagai kebalikan dari larangan-larangan (nawahi), maka ia bukan qadha artinya ia bukan hukum-hukum objektif yang berproses diluar kesadaran melainkan hukum subjektif yang berada dalam kesadaran manusia. Ia juga bukan kalimat-kalimat-Nya namun merupakan iradah Allah yang merupakan peringatan dan merupakan hubungan-hubungan spiritual yang tidak bersifat material.
Singkatnya, qodho’ Allah adalah amr-Nya ada dua bentuk yakni amr (perintah) yang merupakan lawan dari nahy (larangan) dan kedua amr-Nya yang berupa amr kondisional-operatif (ketetapan situasional) yang ada dengan adanya ketentuan lain yakni syarat-syarat objektifnya.
Apakah qodho’ itu bersifat azali (ditentukan di lauhul mahfudz)?
Telah disebutkan diatas, bahwa ketika Allah menetapkan qodho’-Nya yang operatif maka hal tersebut tereralisasi melalui kalimat-kalimat-Nya. Atau hukum-hukum objektif wujud, yakni syarat-syarat objektif yang terhimpun dalam sebuah kitab. Oleh sebab itulah Allah selalu menggunakan bentuk kalimat qoul. Didalam qoul ini ada dua sisi yakni :
1. Penggunaan secara umum iradah dengan firman-Nya “kun”
2. Penggunaan secara umum qudrah dengan firman-Nya “yakunu”
Dari dua sisi itu terdapat perbedaan maksud. “kun” menunjukan kesegeraan, sedangkan “yakuun” yang mempunyai selang waktu. Oleh karenanya, qadha-Nya bersifat tidak azali artinya ketetapan Allah tidak ditentukan dilauh mahfudz. Kecuali hukum-hukum wujud dan perkembangan. Jika seandainya qadha Allah bersifat azali maka kalimatnya yang mungkin adalah ” fa innama yaqulu lahu fa kana” (sesungguhnya jika Allah berfirman: “jadilah” maka ia langsung jadi”) akan tetapi disini menggunakan “yakun” (akan terjadi). Oleh karenanya qadha Allah (ketetapan yang bersifat umum) dapat berubah dan berganti dengan ikhtiar salah satunya dengan kekuatan do’a.
Dalam surat Yunus :98 disebutkan;
فَلَوْلاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُواْ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الخِزْيِ فِي الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.( 10:98)
Disini kita melihat secara pasti bahwa qadha’ Allah tidak bersifat azali dan bisa berubah dengan perubahan kondisi manusia. Oleh sebab itulah datang para Nabi dan Rasul untuk memberikan peringatan pada manusia. Jika qadha itu azali maka risalah dan nubuwah serta do’a menjadi suatu yang sia-sia karena azali dan telah ditentukan dalam lauh mahfudz. Ayat lain yang senada dengan ayat diatas;
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (7:96)
Adapun qadha Allah, yang kedua yakni amr-Nya (perintah-perintah) yang menjadi lawan nawahi (larangan-larangan) ia tidak mengandung sifat-sifat azali sedikit pun, tidak juga bersifat material karena ia bukan kalimat-kalimat-Nya melainkan dari ruh yang berasal dari arsy bukan dari lauhul mahfudz.
II- Qodar (takdir) dan Miqdar Allah
Istilah lain yang muncul berkenaan dengan qadha adalah qadar dan miqdar. Keduanya berasal dari akar kata yang sama yakni (قدر) qa-da ra. Secara lafdhiyah berarti batas, inti, atau ahir dari sesuatu. Sedangkan menurut terminologis qodar adalah batas maksimal dari segala sesuatu. Qodar merupakan ketetapan Allah terhadap segala sesuatu, sesuai dengan batas maksimal dan ahir yang dia kehendaki. Dari kata qodar muncul istilah qudratullah yaitu kemampuan Allah dalam merealisasikan segala sesuatu yang Allah kehendaki dalam kualitan dan kuantitasnya. Sebagaimana firman-Nya;
إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (2:148)
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa. (54:55)
Al-Qodar dalam konsepsi ayat-ayat Al-Qur’an adalah wujud segala sesuatu dengan kuantitas sekaligus kualitas yang ada diluar kesadaran manusia dimana kuantitas dan kualitas tidak bisa dipisahkan dari yang lainnya dalam wujud objektif dan juga pada substansi dan batas maksimalnya yang merupakan transfigurasi (perubahan dalam proses kejadian ) dan evolusi.
Pada ayat berikut, kita bisa melihat , bahwa qadar yang padanya ada kualitas dan kuantitas dan padanya pula terdapat fungsi-fungsi dari segala sesuatu;
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (Al-‘Alaa :1-3)
Disini dapat kita perhatikan bahwa ada keterkaitan anatara “yang menentukan qadar” dengan “member petunjuk”. Ini artinya bahwa wujud secara kuantitas dan kualitas kedua-duanya menyebabkan”petunjuk” kepada sesuatu untuk menjalankan fungsinya. Oleh sebab itulah digunakan “yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” secara lepas dan tidak ada hubungan dengan prilaku sadar manusia.
Al-Miqdar
Al-Miqdar adalah kuantitas yang terlepas dari kualitas. Ia adalah bentuk Gambaran semata, sebab tidak mungkin mengabstraksikan kuantitas dari kualitas kecuali dengan pengetahuan abstrak.
Al-Miqdar dan al-Qadar dapat di bedakan sebagai mana ilustrasi berikut;
“Apel + Apel = Dua Apel” (qadar) Kuantitas sekaligus kualitas.
Ketika diabstraksikan dalam pengetahuan maka dinyatakan sebagai berikut;
” 1 + 1 = 2″ (miqdar), Kuantitas abstrak semata.
Ayat-ayat yang mengunakan konteks Al-Miqdar antara lain;
1. Bayi dalam kandungan ibunya ( Al-Ra’d :8)
2. Perhitungan hari/waktu (Al-Sajdah :5)
3. Ukuran kecepatan malaikat/cahaya ( Al-Ma’arij :4)
Istilah lain yang berhubungan dengan qadar dan miqdar adalah Al-‘adad (kalkulasi) dan al-Ihsha (statistifikasi). Al-‘adad berasal dari kata ‘adda yang berarti “ukuran dari apa yang bisa dihitung “. Sedangkan Al-Ihsha berasal dari kata ha-sha-wa yang berarti “menahan ” dan “menghitung dengan sabar”. Berikut ini adalah contoh ayat-ayat yang mengandung istilah tersebut,
فَلاَ تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدّاً
Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. (Maryam :89)
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Mujadilah :6)
لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَداً
Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin :28)
Beberapa ayat berikut yang mengandung dua istilah tersebut;
A- ‘ADDA
1. Usia atau umur sesuatu/orang ?” (Al-Mu’minun:112-113)
2. Perhitungan kalender. (Yunus:5)
3. Dimensi waktu dan ruang (Al-Kahfi :11)
4. Bilangan perbuatan manusia (Al-Jin :24)
5. Perbedaan perhitungan waktu (Al-Hajj :47)
B- IHSHA
1. Statistikasi amal manusia(Yasin :12)
2. Segala sesuatu terakumulasi dalam kitab (al-Naba:29)
3. Rumus kalkulasi (Al-Kahfi :12)
C. ‘ADDA dan IHSHA
1. Segala sesuatu terkalkulasi dan terstatistifikasi (Maryam :94)
2. Segala sesuatu terkalkulasi dan terstatistifikasi (Al-Jin :28)
3. Nikmat Allah tidak terkalkulasi dan tidak terstatistifikasi (Ibrahim :34)
4. Hukum perdata islam terkalkulasi dan terstatistifikasi (Al-Thalaq:1)
III. IDZIN Allah
Kata idz berasal daria-dzi-na secara bahasa memiliki dua makna;
1. Menampakan sesuatu dan menegaskan suatu kejadian serta merealisasikannya.
Dalam surat Ali -Imran :145 Allah menggunakan kata “idzin” untuk konteks kematian,
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَاباً مُّؤَجَّلاً
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.. (3:145)
Artinya, izin Allah pasti terjadi dan terealisasi yang dalam konteks ini adalah “kematian”. Akan tetapi kematian akan terealisasi melalui “kitab” yaitu kitab kematian yang merupakan akumulasi syarat-syarat objektif yang jika telah tercapai pasti akan terjadi kematian. Syarat itu akan datang dengan tiba-tiba (muajjal) dan tidak ditentukan waktunya. Artinya umur seseorang bisa panjang dan bisa pendek tergantung terpenuhinya syarat-syarat objektif kematian. Allah member izin kematian manusia jika berada diatas suhu 44 derajat Celsius, Allah juga member izin kematian dengan dibakar, digantung, minum racun dll.
Jadi izin Allah adalah nampaknya sesuatu yang terealisasinya sesuai dengan syarat-syarat dan hukum-hukm objektif dan terakumulasi dalam kitabnya masing-masing.
Berikut ini adalah kejadian-kejadian dengan menggunakan kontek idzn Allah:
a. Munculnya mukzijat para Rasul (Al-Mukmin :78)
b. Kekalahan dalam perang (Ali-Imran :166)
c. Datangnya musibah (Al-Taghabun :11)
d. Akibat pembicaraan rahasia (Al-Mujadilah :10)
e. Pemberiaan syafaat (Al-Baqarah :225,Yunus: 3, Thaha :10, Saba:23, Al-Naba :38)
f. Turunnya para malaikat (Al-Qadar:4)
g. Menimpakan madharat kepada orang lain (Al-Baqarah :102)
h. Kemenangan kelompok yang kecil (Al-Baqarah :249)
i. Menghidupkan yang mati, Menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang mati (Ali Imran :49)
j. Tumbuhan subur tumbuh pada tanah yang subur (Ibrahim :11)
k. Penaklukan sebagian jin (Saba :12)
l. Sikap terhadap agama (al-Fathir ;12)
2. Memberi pemakluman, pemberitahuan informasi dan kesepakatan. Seperti dalam surat Al-Hajj: 27,
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (22:27)
Berikut ini adalah perkara-perkara yang disebut dalam konteks izin (pemakluman, kesepakatan)
a. Tidak pergi jihad (Al-Taubah :90)
b. Masuk kerumah orang lain (Al-Nur :27)
c. Ikut berperang (Al-Taubah:83)
d. Izin Rasulullah (Al-Nur :62)
e. Haji Akbar (Al-Taubah :3)
f. Izin Budak (Al-Nur :58)
Izin Allah adalah hukum-hukum objektif-oferatif yang terakumulasi dalam sebuah kitab, dan efektif ketika ia ada.
IV. Al-Masyi’ah Allah
Masyi’ah berarti kehendak, Masyi’ah Allah berarti kehendak Allah. Pada dasarnya antara idzn dan masyi’ah sama. Bedanya izin Allah hanya mengandung satu sisi yaitu efektif ketika ia ada. Adapun kehendak Allah (masyi’ah) mengandung dua sisi, negative dan positif.
Berikut ini contoh sederhana membedakan keduanya;
Ketika Zaid sakit ia akan berobat ke dokter, dan dia besok akan pergi kedokter. Maka kepergian Zaid kedokter memiliki dua kemungkinan jadi berangkat atau tidak jadi berangkat sehingga dia bilang :”besok saya akan pergi kedokter, jika Allah menghendaki”. Ternyata dia jadi berangkat kedokter dan dikasih obat, maka dia bilang: “saya akan makan obat ini supaya sembuk dengan izin Allah”. Ini disebabkan dia mengandung satu sisi yang satu, yakni dengan kesembuhan dari penyakit.
Oleh karenanya,pada ayat berikut mengunakan kalimat” orang yang dikehendaki” dalam konteks mendapat petunjuk;
ذَلِكَ هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.(6:88)
Untuk mendapat hidayah mesti memenuhi syarat-syarat objektif melalui hukum-hukum yang operatif. Penganugerahannya kepada seseorang mengandung dua sisi, yakni bersyarat. Seseorang yang telah memenuhi syarat, maka dia akan mendapat hidayah tersebut, sedangkan yang tidak memenuhi syarat tidak akan mendapatkannya. Misalnya sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat :258;
وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.
Berikut ini perkara-perkara yang menggunakan kontek yang dikehendakinya,
a. Pemberian kekuasaan, memuliakan seseorang,menghinakan seseorang (Ali Imran:26)
b. Memberi rizki tanpa batas (Ali Imran :27)
c. Memberi hidayah (Al-‘Araf:155)
d. Meninggikan derajat (Al-An’am:83)
e. Memberikan karunia (Ali Imran :73)
f. Memberi petunjuk (al-An’am :88)
g. Menghapus dan menetapkan sesuatu (Al-Ra’d:39)
h. Menjadikan manusia iman semua (Al-An’am :149)
DALAM PENGERTIAN MAKNA ISTILAH
سوابق الههم لا تخرق أسوار الأقدار
“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”
1. Penjelasan
Etika yang harus dilakukan dalam maqam asbab adalah percaya akan takdir Allah. Etika ini sangat urgen untuk di pegang oleh salik yang ingin selamat dari kesesatan. Karena sebesar apapun usaha salik pasti tidak akan keluar dari takdir Allah. Oleh karena itu Ibnu Atha’illah menjelaskan dengan kata hikmahnya :
“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”.
“Semangat” disini adalah kemauan keras yang diberikan Allah kepada manusia untuk menghadapi kehidupan mereka seperti kerja, mengajar, dan sebagainya. Kemauan atau semangat keras yang diberikan Allah kepada manusia tersebut tidak akan mampu menembus dinding takdir Allah.
Qodar ( takdir Allah ) Di Ibaratkan dengan dinding kokoh yang membentengi suatu negara. Jika ada seorang musuh yang ingin menghancurkan dinding tersebut maka dia tidak akan berhasil. Begitu juga manusia, dia tidak akan mampu membatalkan takdir Allah dengan kemauan dan semangat kerasnya tersebut.
Lakukanlah asbab (bekerja) sesuai kemampuanmu, namun ketahuilah bahwa asbab yang kamu kerjakan walaupun disertai kemauan keras dan efektifitas akan menjadi sirna jika berhalangan dengaan Qodho’ dan hukum Allah yang telah digariskan.
Perlu kita ketahui bahwa Qodho’ dan Qodar itu memiliki arti yang berbeda. Qodho’ adalah ilmu Allah pada zaman azali dengan segala sesuatu yang akan terjadi, sedangkan Qodar adalah terjadinya sesuatu hal sesuai dengan ilmu Allah pada zaman azali tadi. Kemudian Qodho’ yang namanya berubah menjadi Qodar ketika telah terealisasi, ada kalanya hanya Allah-lah sebagai pemegang kendali (kehendak manusia tidak ikut andil) seperti datangnya musibah dan bencana alam. Dan ada kalanya Qodho’ Qodar terjadi atas kehendak Allah tetapi manusia memiliki andil di dalamnya seperti bekerja dan beribadah. Walaupun keduanya berbeda namun keduanya termasuk dalam Qodho’ dan Qadar Allah SWT. Karena kesemuanya bekerja sesuai ilmu dan penciptaan Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang tunduk di bawah Qodho’ dan Qodar Allah tidak ada hubungannya dengan ikhtiyar (usaha) dan idhtirar (keterpaksaan) manusia.
1. Al-Qur’an surat al-Dzariyyat 58 di jelaskan
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
Dan juga surat Al-Ankabut : 17
.فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
Serta hadist Nabi :
شرح الأربعين النووية في الأحاديث الصحيحة النبوية – (ج 1 / ص 9)
إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ في بَطنِ أُمِّهِ أَربعينَ يَوماً نطفة ، ثمَّ يكونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلكَ ، ثمَّ يكونُ مُضغةً مِثلَ ذلكَ ، ثمَّ يُرسلُ إليه المَلَك ، فيَنْفُخُ فيه الرُّوحَ ويُؤْمَرُ بأربَعِ كلماتٍ : بِكَتْب رِزقه وأجَلِه وعمله ، وشقيٌّ أو سَعيدٌ
Sesungguhnya kejadian kalian di kumpulkan dalam perut ibu selama 40 hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging juga selama 40 hari, lalu Allah mengirim malaikat untuk meniupkan ruh dan di perintah agar menulis 4 perkara yaitu rizqinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau beruntung.
Dari ketiga dalil diatas bisa kita ketahui bahwa rizqi telah digariskan dalam ilmu Allah dan masuk dalam genggaman Qodho’-Nya. Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali telah tergaris dalam ilmu-Nya. Adapun kesungguhan dan kerja keras kita hanyalah sebagai pelayan bagi segala sesuatu yang telah termaktub ( tertulis ) dalam Qodho’ dan hukum Allah dan juga sebagai pelayan bagi Qodar yang realisasinya pasti sesuai dengan ilmu dan Qodho’-Nya.
2. Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 255
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Allah mensifati Dzat-Nya dengan Al-Qoyyum yang artinya Dzat yang mengurusi segala urusan untuk selama-lamanya. Jadi tidak ada satu makhluk yang bergerak atau memberi pengaruh kecuali dengan tindakan langsung dari Allah SWT.
3. Al-Qur’an surat Al-Rum : 25
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
Jadi bergeraknya Afaq (cakrawala) bumi dan apa saja yang ada di dalamnya tergantung dari rahmat Allah. Perlu kita ketahui, ayat di atas menggunakan kalimah “تقوم ” yaitu fi’il mudlari’ yang menunjukkan zaman al-istimror (selama-lamanya dan terus-menerus). Segala sesuatu yang kita lihat baik berupa gerakan maupun perubahan, besar maupun kecil tidak akan sempurna tanpa kekuasaan dan perintah Allah SWT. Lalu (dengan penetapan ini) apakah ada yang mengatur segala sesuatu selain Allah?
4. Al-Qur’an surat Al-Fatir : 41
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Perhatikanlah ayat di atas, Allah memberikan redaksi dengan kalimah “يمسك” yaitu fiil mudlari’ yang juga bermakna zaman Al-istimror. Ayat di atas menjelaskan bahwa langit dan bumi bisa teratur dari waktu ke waktu karena aturan dan hukum Allah. Seandainya satu detik saja Allah tidak mengaturnya maka segala sesuatu pasti akan hancur dan tentunya sangat jauh apabila ada makhluk atau penyebab lain yang menempati posisi Allah sebagai pelaku utama yang mengatur alam ini.
5. Al-Qur’an surat Yasin : 41
وَآَيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.
Jika memang perahu yang mengarungi gelombang laut itu adalah pelaku pengangkutan yang berpotensi dan mandiri, lalu kenapa Allah menisbatkan (menyandarkan) pekerjan mengangkut manusia di atas kapal kepada Dzat-Nya sendiri, dan tidak menisbatkannya pada kapal yang lahirnya memiliki kekuatan tersendiri?.
Ayat di atas dengan jelas menjelaskan bahwa yang mengangkut kapal dan manusia di dalamnya adalah Allah. Dengan demikian sirnalah kesalah pahaman dan benarlah bahwa al-Sababiyyah al-Haqiqiyyah (penyebab haqiqi) dalam pengangkutan hanyalah Allah SWT.
sesungguhnya pekerjaan yang kita lakukan hanyalah menuruti perintah dan aturan yang telah ditetapkan Allah pada semua makhluk. Kita diperintahkan untuk makan, minum dan berobat jika kita lapar, haus, dan sakit. Kita juga diperintah agar waspada pada penyakit dan musibah. Keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah harus ditancapkan dalam diri kita. Hanya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu dan tidak ada pengaruh kecuali dari hukum-Nya. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-A’raf : 54 :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan pekerjaan, di sisi lain Allah juga memerintahkan pada kita untuk meyakini bahwa semangat yang kuat tidak mampu menembus dinding-dinding takdir.
Syari’at (aturan) yang dibebankan Allah dan keyakinan yang diajarkan-Nya (pelaku hakiki hanyalah Allah) teraplikasikan dalam khitabNya kepada Sayyidah Maryam ketika bersandar pada pohon kurma dalam keadaan hamil. Allah berfirman di dalam surat Maryam : 25 :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
Pohon yang disandari Sayyidah Maryam adalah pohon kurma yang sudah tua dan tentunya tidak berbuah lagi. Namun seketika itu pula Allah menumbuhkan buah kurma yang masih segar. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Allah sangat mampu sekali untuk menurunkan buah kurma dalam pangkuan Sayyidah Maryam tanpa harus memerintahkan Sayyidah Maryam untuk menggoyang pohon kurma tersebut. Namun Allah ingin mengajarkan aturan dan syari’at kepada manusia. Oleh karena itu Allah berfirman :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu”
Dengan demikian kita tahu bahwa yang menciptakan kurma adalah Allah, namun Allah mengajarkan sebab demi turunnya buah kurma yaitu dengan menggoyang pohonnya.
Marilah kita melihat education efec ( pengaruh edukasi ) dengan melakukan asbab ( pekerjaaan ), namun didasari keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah dan segala sesuatu pasti tunduk pada Qodar Allah, maka kita akan menemukan efek yang baik pada diri manusia serta akan membentuk jiwa dan pikiran yang sehat.
Jika usaha kita yang berada di bawah Qodho’ dan Qodar Allah, telah menghasilkan cita-cita kita, maka kita akan yakin bahwa anugerah ini adalah pemberian Allah SWT dan dari sinilah kita harus banyak bersyukur dan memuji Allah SWT. Sebaliknya, jika cita-cita kita belum terwujud maka kita menyadari bahwa semuanya telah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu kita tidak akan kebingungan dalam menghadapi kehidupan ini dan kita tidak akan mengandai-andai bahwa jika kita melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, dan jika kita melakukan seperti apa yang dilakukan seseorang niscaya kita akan sukses seperti mereka.
Fenomena di atas telah meracuni sebagian manusia yang mengakibatkan mereka stress dan hidup dalam kesedihan. Namun seorang mukmin yang patuh pada hukum-hukum syar’i serta dilandasi keyakinan pada qadla ilahi pasti akan selamat dari musibah dan penyakit ini. Karena mereka tahu bahwa ini semua terjadi atas kehendak Allah. Dengan percaya dan ridho atas kehendakNya, maka mereka semakin tenang dan yakin bahwa kehendak Allah tersebut adalah yang terbaik bagi mereka.
Pada akhirnya kita akan tunduk dan menjalankan wasiat Nabi Muhammad SAW, yaitu :
استعن بالله ولاتعجز وان أصابك شئ فلا تقل لو أني فعلت كذا لكان كذا, فان لو تفتح عمل الشيطان ولكن قل قدر الله وما شاء فعل. (رواه مسلم)
Mintalah pertolongan pada Allah dan janganlah lemah, jika kamu tertimpa sesuatu janganlah kamu mengatakan bahwa sendainya saya melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, karena mengandai-andai itu akan membuka pintu sayetan. Akan tetapi katakanlah bahwa Allah telah menakdirkan seperti ini dan Allah berhak untuk melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Kita juga harus tahu bahwa dengan adanya Qodho’ dan Qodar Allah bukan berarti kita tidak memiliki ikhtiyar (usaha), karena masalah Qodho’ dan Qodar itu tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya usaha manusia. Inilah hal yang perlu kita perhatikan dan janganlah kita tertipu oleh asumsi sebagian manusia dalam memahami makna Qodho’ dan Qodar. Dengan demikian kita akan selamat dari kesesatan dan hidup dalam penuh kehormatan dan ketenangan.
Wallohu ‘alam bissawab
Manusia sejak dilahirkan kedunia telah mendapati fenomena-fenomena atau kenyataan yang ada dalam kehidupan yang adakalanya dapat masuk dan difahami dalam batas pemikirannya, ada pula tetap menggelayut menjadi suatu misteri yang tanpa ujung jawaban. Manusia mengalami masa yang telah dilalui (kemarin) dan dia melihat masa itu menyisakan perkara-perkara yang menjadi cacatan kehidupannya. Hari ini dia pun hidup dan merasakan kehidupan tapi entah apakah dirinya berpikir tentang hari yang dijalaninya, atau dia mengalir tanpa arah dan tujuan. Menghadapi masa yang akan datang (esok) yang merupakan masa yang diselimuti misteri tentang keberadaanya.
Keumuman sikap manusia dalam taraf basyar (UMUM). Inilah yang disinyalir dalam surat al-Jatsiyah ayat 26;
قُلِ اللَّهُ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيبَ فِيهِ وَلَكِنَّ أَكَثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (45:26)
Ketika derajatnya meningkat satu tahap yakni menjadi insan, manusia lebih peduli terhadap kehidupan dan makna kehidupan dirinya, masa (al-dhar) dipandang bukan suatu yang misteri, ia adalah sesuatu yang riil, dan senantiasa berada dalam dimensi pemikirannya, celakanya dia terjeلاak pada ilusi semata, yakni dunia ini adalah material semata. Jika tanpa kendali dia menjadi sebuah bola liar menuju suatu faham materialisme. Suatu paham yang menistakan keberadaan Dzat Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan hari esok (akhirat). Inilah potret manusia yang dilukiskan pada surat al-An’am ayat 29;
َوَقَالُواْ إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
” Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”.(QS 6:29)
Berbeda, jika kehidupan dunia ini dipandang oleh khairul ummah (manusia yang paripurna) dengan piranti yang dimiliki; indra, akal dan hati, dia mendapati kehidupan sesungguhnya senantiasa berada pada tiga dimensi, yakni dimensi realiatas (ainul yaqin), dimensi kesadaran (‘Ilma yaqin) dan dimensi spiritual (haqul yaqin). Dunia (dekat, cepat, binasa) adalah lintasan menuju dunia sesungguhnya dunia tanpa batas (akhirat) . Inilah potret Ulul Albab yakni potret tahap awal menuju kesempurnaan khairu ummah.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Menjadi tingkat ulul albab belumlah menjadi jaminan manusia bisa meraih kehidupan sebenarnya, derajat muttaqi lah seorang manusia akan melihat dan merasakan kehidupan sebenarnya yakni kehidupan berdasarkan aturan dan tujuan yang memberi kehidupan itu sendiri. Muttaqi dan setingkat lebih tinggi darinya yakni atqaq adalah orang yang menjalani kehidupan dengan aturan dan petunjuk yang benar, petujuk Al-Qur’an petunjuk hidup manusia yang menuntun kepada kebahagian yang sebenarnya.
Al-Qur’an adalah petunjuk terbesar disamping petujuk-petunjuk lain yang menuntun seorang muttaqi meraih kebahagiaan hakiki. Al-Qur’an adalah media komunikasi antara Khaliq dan mahluk, sebuah komunikasi melewati bahasa arab sebagai bahasa pilihan diantara bahasa-bahasa yang ada didunia. Didalamnya ada ribuan ayat dengan ragam style. Muhkam, mutasyabih, amm, khas, adalah diantara ragam-ragam ayat al-Qur’an yang penuh eksotik. Disamping itu untaian kata yang membentuk istilah-istilah Qur’ani bersebaran bagai bintang-bintang yang sukar digenggam maksud dan tujuannya. Dan juga bagai mutiara yang perlu usaha keras untuk menggapainya karena dalamnya samudra al-Qur’an itu sendiri. Inilah sisi ‘izajul Qur’an (mukzijat al-Qur’an) sepanjang zaman.
Diantara eksotikasi istilah al-Qur’an, adalah apa yang disebut musytarak (memiliki ragam arti), wujuhul ma’na (ragam maksud), muradif (sinonim), mutaradif (mirip) yang semuanya menjadi khazanah pergulatan pemikiran yang tiada hentinya. Ketidakpuasan terhadap maksud suatu istilah al-Qur’an, mendorong seorang muttaqi untuk menggali kembali dari maksud istilah tersebut. Beragam metode yang ditawarkan oleh para ahli sebagai piranti untuk menggali makna dan maksud istilah-istilah tersebut. Diantaranya dengan method tafsir maudhu’I (tematik) dan sastra yang dianggap oleh sebagian ahli sebagai metode yang cukup efektif untuk eksplorasi tafsir istilahi.
Diantara kajian istilah yang menjadi pergulatan pemikiran para ahli adalah perkara yang berhubungan dengan bidang teologis, atau lebih tepatnya jabariyah (paksaan) dan qadariyah (pilihan) terhadap amal dan prilaku manusia. Keduanya bermuara dari beberapa istilah al-Qur’an yang memungkinkan terjadinya perbedaan sudut pandang dalam memahaminya ketika berada pada suatu ayat. Istilah-istilah ini antara lain :
1. Qodho’ Allah
2. Irodhah Allah
3. Qodar (takdir) Allah
4. Izin Allah
5. Masyi’ah Allah
Ke-limanya adalah laksana mutiara didalam samudra yang mungkin untuk dapat diraih, dengan dasar inilah, penulis mencoba menelaah dan mengkaji dari keempatnya sebagai mana berikut ini.
I. QODHO’ Allah
Qodho’ (قضي) qa-dha-ya muncul dalam al-Qur’an kurang lebih 37 ayat dalam beragam penjelasan dan pemahaman. Ia termasuk istilah yang tergolong mustaroq (memiliki arti lebih dari satu). Secara lafadz, Qodho’ (قضي) memiliki arti sebagai berikut;
1. Qodho’ (قضي) sama dengan (أخبر) akh-ba-ro (menginformasikan), sebagaimana dalam firman-Nya
وَقَضَيْنَا إِلَيْهِ ذَلِكَ الأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَؤُلاء مَقْطُوعٌ مُّصْبِحِينَ
Dan telah Kami informasikan kepadanya (Lut) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh. (15:66)
Ayat lain Al-Isra :4 Al-Qasas : 44
2. Qodho’ (قضي) semakna dengan (أمر) a-ma-ra (memerintahkan) lawan dari (نهى) na-ha (melarang), sebagaimana dalam firman-Nya
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (17:23)
3. Qodho’ (قضي) semakna dengan(أخر) Aa-kha-ra (mengahiri sesuatu), sebagaimana firman-Nya
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).(28:15)
Ayat lain yang semakna Al-Qasas :28, Al-Ahzab :23
4. Qodho’ (قضي) semakna dengan (أراد) a-ra-da (hendak/ketetapan) atau kehendak ilahi yang operatif, sebagaimana firman-Nya
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (19:35)
إِِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia.(16:40)
Makna ke-empat inilah yang dimaksud dalam kajian ini, untuk selanjutnya,
Apa yang dimaksud dengan Qodho’ itu ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita lihat ayat-ayat berikut;
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (19:35)
إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَن نَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia. (16:40)
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (36:82)
هُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ فَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. (40:68)
أَتَى أَمْرُ اللّهِ فَلاَ تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (16:1)
يُنَزِّلُ الْمَلآئِكَةَ بِالْرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُواْ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنَاْ فَاتَّقُونِ
Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (16:2)
Dari ayat-ayat diatas, maka Qodho’ tidak lain Irodah adalah amr-Nya (ketetapan). Pada 4 ayat pertama diikuti dengan kalimat yang tetap “yaqulu”, “naqulu” yang artinya bahwa ketetapan Allah yang operatif tidak akan terjadi kecuali dengan “qaul-Nya”. Sedangkan “qaul-Nya” adalah yang “al-haq” yang “riil” yakni kalimat-kalimat-Nya. Sedangkan “kalimat-kalimat-Nya” tiada lain adalah realitas wujud itu sendiri dengan hukum-hukum obyektifnya. Artinya qadha (ketetapan ) yang pasti itu akan terealisasi melalui sesuatu yang telah ditentukan. Yakni syarat-syarat objektif yang terakumulasi dalam sebuah kitab. Misalnya qodho’kemenangan dalam peperangan akan terelalisasi apabila telah terpenuhinya syarat-syarat objektif untuk menang yang terakumulasi dalam “kitab kemenangan”. Jika syarat-syarat objektifnya tidak terpenuhi sampai kapan pun tidak akan ada (takdir) kemenangan dalam peperangan.
Sedangkan pada dua ayat terahir (Al-Nahl :1-2) amr-Nya tidak diikuti “qoul-Nya” dalam bentuk kalimat “qouluhu” “qulna”,”naqulu” dan “kun fayakunu”, maka yang dimaksud amr-Nya disini adalah awamir (perintah-perintah) sebagai kebalikan dari larangan-larangan (nawahi), maka ia bukan qadha artinya ia bukan hukum-hukum objektif yang berproses diluar kesadaran melainkan hukum subjektif yang berada dalam kesadaran manusia. Ia juga bukan kalimat-kalimat-Nya namun merupakan iradah Allah yang merupakan peringatan dan merupakan hubungan-hubungan spiritual yang tidak bersifat material.
Singkatnya, qodho’ Allah adalah amr-Nya ada dua bentuk yakni amr (perintah) yang merupakan lawan dari nahy (larangan) dan kedua amr-Nya yang berupa amr kondisional-operatif (ketetapan situasional) yang ada dengan adanya ketentuan lain yakni syarat-syarat objektifnya.
Apakah qodho’ itu bersifat azali (ditentukan di lauhul mahfudz)?
Telah disebutkan diatas, bahwa ketika Allah menetapkan qodho’-Nya yang operatif maka hal tersebut tereralisasi melalui kalimat-kalimat-Nya. Atau hukum-hukum objektif wujud, yakni syarat-syarat objektif yang terhimpun dalam sebuah kitab. Oleh sebab itulah Allah selalu menggunakan bentuk kalimat qoul. Didalam qoul ini ada dua sisi yakni :
1. Penggunaan secara umum iradah dengan firman-Nya “kun”
2. Penggunaan secara umum qudrah dengan firman-Nya “yakunu”
Dari dua sisi itu terdapat perbedaan maksud. “kun” menunjukan kesegeraan, sedangkan “yakuun” yang mempunyai selang waktu. Oleh karenanya, qadha-Nya bersifat tidak azali artinya ketetapan Allah tidak ditentukan dilauh mahfudz. Kecuali hukum-hukum wujud dan perkembangan. Jika seandainya qadha Allah bersifat azali maka kalimatnya yang mungkin adalah ” fa innama yaqulu lahu fa kana” (sesungguhnya jika Allah berfirman: “jadilah” maka ia langsung jadi”) akan tetapi disini menggunakan “yakun” (akan terjadi). Oleh karenanya qadha Allah (ketetapan yang bersifat umum) dapat berubah dan berganti dengan ikhtiar salah satunya dengan kekuatan do’a.
Dalam surat Yunus :98 disebutkan;
فَلَوْلاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُواْ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الخِزْيِ فِي الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.( 10:98)
Disini kita melihat secara pasti bahwa qadha’ Allah tidak bersifat azali dan bisa berubah dengan perubahan kondisi manusia. Oleh sebab itulah datang para Nabi dan Rasul untuk memberikan peringatan pada manusia. Jika qadha itu azali maka risalah dan nubuwah serta do’a menjadi suatu yang sia-sia karena azali dan telah ditentukan dalam lauh mahfudz. Ayat lain yang senada dengan ayat diatas;
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (7:96)
Adapun qadha Allah, yang kedua yakni amr-Nya (perintah-perintah) yang menjadi lawan nawahi (larangan-larangan) ia tidak mengandung sifat-sifat azali sedikit pun, tidak juga bersifat material karena ia bukan kalimat-kalimat-Nya melainkan dari ruh yang berasal dari arsy bukan dari lauhul mahfudz.
II- Qodar (takdir) dan Miqdar Allah
Istilah lain yang muncul berkenaan dengan qadha adalah qadar dan miqdar. Keduanya berasal dari akar kata yang sama yakni (قدر) qa-da ra. Secara lafdhiyah berarti batas, inti, atau ahir dari sesuatu. Sedangkan menurut terminologis qodar adalah batas maksimal dari segala sesuatu. Qodar merupakan ketetapan Allah terhadap segala sesuatu, sesuai dengan batas maksimal dan ahir yang dia kehendaki. Dari kata qodar muncul istilah qudratullah yaitu kemampuan Allah dalam merealisasikan segala sesuatu yang Allah kehendaki dalam kualitan dan kuantitasnya. Sebagaimana firman-Nya;
إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (2:148)
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa. (54:55)
Al-Qodar dalam konsepsi ayat-ayat Al-Qur’an adalah wujud segala sesuatu dengan kuantitas sekaligus kualitas yang ada diluar kesadaran manusia dimana kuantitas dan kualitas tidak bisa dipisahkan dari yang lainnya dalam wujud objektif dan juga pada substansi dan batas maksimalnya yang merupakan transfigurasi (perubahan dalam proses kejadian ) dan evolusi.
Pada ayat berikut, kita bisa melihat , bahwa qadar yang padanya ada kualitas dan kuantitas dan padanya pula terdapat fungsi-fungsi dari segala sesuatu;
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (Al-‘Alaa :1-3)
Disini dapat kita perhatikan bahwa ada keterkaitan anatara “yang menentukan qadar” dengan “member petunjuk”. Ini artinya bahwa wujud secara kuantitas dan kualitas kedua-duanya menyebabkan”petunjuk” kepada sesuatu untuk menjalankan fungsinya. Oleh sebab itulah digunakan “yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” secara lepas dan tidak ada hubungan dengan prilaku sadar manusia.
Al-Miqdar
Al-Miqdar adalah kuantitas yang terlepas dari kualitas. Ia adalah bentuk Gambaran semata, sebab tidak mungkin mengabstraksikan kuantitas dari kualitas kecuali dengan pengetahuan abstrak.
Al-Miqdar dan al-Qadar dapat di bedakan sebagai mana ilustrasi berikut;
“Apel + Apel = Dua Apel” (qadar) Kuantitas sekaligus kualitas.
Ketika diabstraksikan dalam pengetahuan maka dinyatakan sebagai berikut;
” 1 + 1 = 2″ (miqdar), Kuantitas abstrak semata.
Ayat-ayat yang mengunakan konteks Al-Miqdar antara lain;
1. Bayi dalam kandungan ibunya ( Al-Ra’d :8)
2. Perhitungan hari/waktu (Al-Sajdah :5)
3. Ukuran kecepatan malaikat/cahaya ( Al-Ma’arij :4)
Istilah lain yang berhubungan dengan qadar dan miqdar adalah Al-‘adad (kalkulasi) dan al-Ihsha (statistifikasi). Al-‘adad berasal dari kata ‘adda yang berarti “ukuran dari apa yang bisa dihitung “. Sedangkan Al-Ihsha berasal dari kata ha-sha-wa yang berarti “menahan ” dan “menghitung dengan sabar”. Berikut ini adalah contoh ayat-ayat yang mengandung istilah tersebut,
فَلاَ تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدّاً
Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. (Maryam :89)
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Mujadilah :6)
لِيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَداً
Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin :28)
Beberapa ayat berikut yang mengandung dua istilah tersebut;
A- ‘ADDA
1. Usia atau umur sesuatu/orang ?” (Al-Mu’minun:112-113)
2. Perhitungan kalender. (Yunus:5)
3. Dimensi waktu dan ruang (Al-Kahfi :11)
4. Bilangan perbuatan manusia (Al-Jin :24)
5. Perbedaan perhitungan waktu (Al-Hajj :47)
B- IHSHA
1. Statistikasi amal manusia(Yasin :12)
2. Segala sesuatu terakumulasi dalam kitab (al-Naba:29)
3. Rumus kalkulasi (Al-Kahfi :12)
C. ‘ADDA dan IHSHA
1. Segala sesuatu terkalkulasi dan terstatistifikasi (Maryam :94)
2. Segala sesuatu terkalkulasi dan terstatistifikasi (Al-Jin :28)
3. Nikmat Allah tidak terkalkulasi dan tidak terstatistifikasi (Ibrahim :34)
4. Hukum perdata islam terkalkulasi dan terstatistifikasi (Al-Thalaq:1)
III. IDZIN Allah
Kata idz berasal daria-dzi-na secara bahasa memiliki dua makna;
1. Menampakan sesuatu dan menegaskan suatu kejadian serta merealisasikannya.
Dalam surat Ali -Imran :145 Allah menggunakan kata “idzin” untuk konteks kematian,
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَاباً مُّؤَجَّلاً
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.. (3:145)
Artinya, izin Allah pasti terjadi dan terealisasi yang dalam konteks ini adalah “kematian”. Akan tetapi kematian akan terealisasi melalui “kitab” yaitu kitab kematian yang merupakan akumulasi syarat-syarat objektif yang jika telah tercapai pasti akan terjadi kematian. Syarat itu akan datang dengan tiba-tiba (muajjal) dan tidak ditentukan waktunya. Artinya umur seseorang bisa panjang dan bisa pendek tergantung terpenuhinya syarat-syarat objektif kematian. Allah member izin kematian manusia jika berada diatas suhu 44 derajat Celsius, Allah juga member izin kematian dengan dibakar, digantung, minum racun dll.
Jadi izin Allah adalah nampaknya sesuatu yang terealisasinya sesuai dengan syarat-syarat dan hukum-hukm objektif dan terakumulasi dalam kitabnya masing-masing.
Berikut ini adalah kejadian-kejadian dengan menggunakan kontek idzn Allah:
a. Munculnya mukzijat para Rasul (Al-Mukmin :78)
b. Kekalahan dalam perang (Ali-Imran :166)
c. Datangnya musibah (Al-Taghabun :11)
d. Akibat pembicaraan rahasia (Al-Mujadilah :10)
e. Pemberiaan syafaat (Al-Baqarah :225,Yunus: 3, Thaha :10, Saba:23, Al-Naba :38)
f. Turunnya para malaikat (Al-Qadar:4)
g. Menimpakan madharat kepada orang lain (Al-Baqarah :102)
h. Kemenangan kelompok yang kecil (Al-Baqarah :249)
i. Menghidupkan yang mati, Menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang mati (Ali Imran :49)
j. Tumbuhan subur tumbuh pada tanah yang subur (Ibrahim :11)
k. Penaklukan sebagian jin (Saba :12)
l. Sikap terhadap agama (al-Fathir ;12)
2. Memberi pemakluman, pemberitahuan informasi dan kesepakatan. Seperti dalam surat Al-Hajj: 27,
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (22:27)
Berikut ini adalah perkara-perkara yang disebut dalam konteks izin (pemakluman, kesepakatan)
a. Tidak pergi jihad (Al-Taubah :90)
b. Masuk kerumah orang lain (Al-Nur :27)
c. Ikut berperang (Al-Taubah:83)
d. Izin Rasulullah (Al-Nur :62)
e. Haji Akbar (Al-Taubah :3)
f. Izin Budak (Al-Nur :58)
Izin Allah adalah hukum-hukum objektif-oferatif yang terakumulasi dalam sebuah kitab, dan efektif ketika ia ada.
IV. Al-Masyi’ah Allah
Masyi’ah berarti kehendak, Masyi’ah Allah berarti kehendak Allah. Pada dasarnya antara idzn dan masyi’ah sama. Bedanya izin Allah hanya mengandung satu sisi yaitu efektif ketika ia ada. Adapun kehendak Allah (masyi’ah) mengandung dua sisi, negative dan positif.
Berikut ini contoh sederhana membedakan keduanya;
Ketika Zaid sakit ia akan berobat ke dokter, dan dia besok akan pergi kedokter. Maka kepergian Zaid kedokter memiliki dua kemungkinan jadi berangkat atau tidak jadi berangkat sehingga dia bilang :”besok saya akan pergi kedokter, jika Allah menghendaki”. Ternyata dia jadi berangkat kedokter dan dikasih obat, maka dia bilang: “saya akan makan obat ini supaya sembuk dengan izin Allah”. Ini disebabkan dia mengandung satu sisi yang satu, yakni dengan kesembuhan dari penyakit.
Oleh karenanya,pada ayat berikut mengunakan kalimat” orang yang dikehendaki” dalam konteks mendapat petunjuk;
ذَلِكَ هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.(6:88)
Untuk mendapat hidayah mesti memenuhi syarat-syarat objektif melalui hukum-hukum yang operatif. Penganugerahannya kepada seseorang mengandung dua sisi, yakni bersyarat. Seseorang yang telah memenuhi syarat, maka dia akan mendapat hidayah tersebut, sedangkan yang tidak memenuhi syarat tidak akan mendapatkannya. Misalnya sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat :258;
وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.
Berikut ini perkara-perkara yang menggunakan kontek yang dikehendakinya,
a. Pemberian kekuasaan, memuliakan seseorang,menghinakan seseorang (Ali Imran:26)
b. Memberi rizki tanpa batas (Ali Imran :27)
c. Memberi hidayah (Al-‘Araf:155)
d. Meninggikan derajat (Al-An’am:83)
e. Memberikan karunia (Ali Imran :73)
f. Memberi petunjuk (al-An’am :88)
g. Menghapus dan menetapkan sesuatu (Al-Ra’d:39)
h. Menjadikan manusia iman semua (Al-An’am :149)
DALAM PENGERTIAN MAKNA ISTILAH
سوابق الههم لا تخرق أسوار الأقدار
“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”
1. Penjelasan
Etika yang harus dilakukan dalam maqam asbab adalah percaya akan takdir Allah. Etika ini sangat urgen untuk di pegang oleh salik yang ingin selamat dari kesesatan. Karena sebesar apapun usaha salik pasti tidak akan keluar dari takdir Allah. Oleh karena itu Ibnu Atha’illah menjelaskan dengan kata hikmahnya :
“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”.
“Semangat” disini adalah kemauan keras yang diberikan Allah kepada manusia untuk menghadapi kehidupan mereka seperti kerja, mengajar, dan sebagainya. Kemauan atau semangat keras yang diberikan Allah kepada manusia tersebut tidak akan mampu menembus dinding takdir Allah.
Qodar ( takdir Allah ) Di Ibaratkan dengan dinding kokoh yang membentengi suatu negara. Jika ada seorang musuh yang ingin menghancurkan dinding tersebut maka dia tidak akan berhasil. Begitu juga manusia, dia tidak akan mampu membatalkan takdir Allah dengan kemauan dan semangat kerasnya tersebut.
Lakukanlah asbab (bekerja) sesuai kemampuanmu, namun ketahuilah bahwa asbab yang kamu kerjakan walaupun disertai kemauan keras dan efektifitas akan menjadi sirna jika berhalangan dengaan Qodho’ dan hukum Allah yang telah digariskan.
Perlu kita ketahui bahwa Qodho’ dan Qodar itu memiliki arti yang berbeda. Qodho’ adalah ilmu Allah pada zaman azali dengan segala sesuatu yang akan terjadi, sedangkan Qodar adalah terjadinya sesuatu hal sesuai dengan ilmu Allah pada zaman azali tadi. Kemudian Qodho’ yang namanya berubah menjadi Qodar ketika telah terealisasi, ada kalanya hanya Allah-lah sebagai pemegang kendali (kehendak manusia tidak ikut andil) seperti datangnya musibah dan bencana alam. Dan ada kalanya Qodho’ Qodar terjadi atas kehendak Allah tetapi manusia memiliki andil di dalamnya seperti bekerja dan beribadah. Walaupun keduanya berbeda namun keduanya termasuk dalam Qodho’ dan Qadar Allah SWT. Karena kesemuanya bekerja sesuai ilmu dan penciptaan Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang tunduk di bawah Qodho’ dan Qodar Allah tidak ada hubungannya dengan ikhtiyar (usaha) dan idhtirar (keterpaksaan) manusia.
1. Al-Qur’an surat al-Dzariyyat 58 di jelaskan
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
Dan juga surat Al-Ankabut : 17
.فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
Serta hadist Nabi :
شرح الأربعين النووية في الأحاديث الصحيحة النبوية – (ج 1 / ص 9)
إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ في بَطنِ أُمِّهِ أَربعينَ يَوماً نطفة ، ثمَّ يكونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلكَ ، ثمَّ يكونُ مُضغةً مِثلَ ذلكَ ، ثمَّ يُرسلُ إليه المَلَك ، فيَنْفُخُ فيه الرُّوحَ ويُؤْمَرُ بأربَعِ كلماتٍ : بِكَتْب رِزقه وأجَلِه وعمله ، وشقيٌّ أو سَعيدٌ
Sesungguhnya kejadian kalian di kumpulkan dalam perut ibu selama 40 hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging juga selama 40 hari, lalu Allah mengirim malaikat untuk meniupkan ruh dan di perintah agar menulis 4 perkara yaitu rizqinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau beruntung.
Dari ketiga dalil diatas bisa kita ketahui bahwa rizqi telah digariskan dalam ilmu Allah dan masuk dalam genggaman Qodho’-Nya. Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali telah tergaris dalam ilmu-Nya. Adapun kesungguhan dan kerja keras kita hanyalah sebagai pelayan bagi segala sesuatu yang telah termaktub ( tertulis ) dalam Qodho’ dan hukum Allah dan juga sebagai pelayan bagi Qodar yang realisasinya pasti sesuai dengan ilmu dan Qodho’-Nya.
2. Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 255
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Allah mensifati Dzat-Nya dengan Al-Qoyyum yang artinya Dzat yang mengurusi segala urusan untuk selama-lamanya. Jadi tidak ada satu makhluk yang bergerak atau memberi pengaruh kecuali dengan tindakan langsung dari Allah SWT.
3. Al-Qur’an surat Al-Rum : 25
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
Jadi bergeraknya Afaq (cakrawala) bumi dan apa saja yang ada di dalamnya tergantung dari rahmat Allah. Perlu kita ketahui, ayat di atas menggunakan kalimah “تقوم ” yaitu fi’il mudlari’ yang menunjukkan zaman al-istimror (selama-lamanya dan terus-menerus). Segala sesuatu yang kita lihat baik berupa gerakan maupun perubahan, besar maupun kecil tidak akan sempurna tanpa kekuasaan dan perintah Allah SWT. Lalu (dengan penetapan ini) apakah ada yang mengatur segala sesuatu selain Allah?
4. Al-Qur’an surat Al-Fatir : 41
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Perhatikanlah ayat di atas, Allah memberikan redaksi dengan kalimah “يمسك” yaitu fiil mudlari’ yang juga bermakna zaman Al-istimror. Ayat di atas menjelaskan bahwa langit dan bumi bisa teratur dari waktu ke waktu karena aturan dan hukum Allah. Seandainya satu detik saja Allah tidak mengaturnya maka segala sesuatu pasti akan hancur dan tentunya sangat jauh apabila ada makhluk atau penyebab lain yang menempati posisi Allah sebagai pelaku utama yang mengatur alam ini.
5. Al-Qur’an surat Yasin : 41
وَآَيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.
Jika memang perahu yang mengarungi gelombang laut itu adalah pelaku pengangkutan yang berpotensi dan mandiri, lalu kenapa Allah menisbatkan (menyandarkan) pekerjan mengangkut manusia di atas kapal kepada Dzat-Nya sendiri, dan tidak menisbatkannya pada kapal yang lahirnya memiliki kekuatan tersendiri?.
Ayat di atas dengan jelas menjelaskan bahwa yang mengangkut kapal dan manusia di dalamnya adalah Allah. Dengan demikian sirnalah kesalah pahaman dan benarlah bahwa al-Sababiyyah al-Haqiqiyyah (penyebab haqiqi) dalam pengangkutan hanyalah Allah SWT.
sesungguhnya pekerjaan yang kita lakukan hanyalah menuruti perintah dan aturan yang telah ditetapkan Allah pada semua makhluk. Kita diperintahkan untuk makan, minum dan berobat jika kita lapar, haus, dan sakit. Kita juga diperintah agar waspada pada penyakit dan musibah. Keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah harus ditancapkan dalam diri kita. Hanya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu dan tidak ada pengaruh kecuali dari hukum-Nya. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-A’raf : 54 :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan pekerjaan, di sisi lain Allah juga memerintahkan pada kita untuk meyakini bahwa semangat yang kuat tidak mampu menembus dinding-dinding takdir.
Syari’at (aturan) yang dibebankan Allah dan keyakinan yang diajarkan-Nya (pelaku hakiki hanyalah Allah) teraplikasikan dalam khitabNya kepada Sayyidah Maryam ketika bersandar pada pohon kurma dalam keadaan hamil. Allah berfirman di dalam surat Maryam : 25 :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
Pohon yang disandari Sayyidah Maryam adalah pohon kurma yang sudah tua dan tentunya tidak berbuah lagi. Namun seketika itu pula Allah menumbuhkan buah kurma yang masih segar. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Allah sangat mampu sekali untuk menurunkan buah kurma dalam pangkuan Sayyidah Maryam tanpa harus memerintahkan Sayyidah Maryam untuk menggoyang pohon kurma tersebut. Namun Allah ingin mengajarkan aturan dan syari’at kepada manusia. Oleh karena itu Allah berfirman :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu”
Dengan demikian kita tahu bahwa yang menciptakan kurma adalah Allah, namun Allah mengajarkan sebab demi turunnya buah kurma yaitu dengan menggoyang pohonnya.
Marilah kita melihat education efec ( pengaruh edukasi ) dengan melakukan asbab ( pekerjaaan ), namun didasari keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah dan segala sesuatu pasti tunduk pada Qodar Allah, maka kita akan menemukan efek yang baik pada diri manusia serta akan membentuk jiwa dan pikiran yang sehat.
Jika usaha kita yang berada di bawah Qodho’ dan Qodar Allah, telah menghasilkan cita-cita kita, maka kita akan yakin bahwa anugerah ini adalah pemberian Allah SWT dan dari sinilah kita harus banyak bersyukur dan memuji Allah SWT. Sebaliknya, jika cita-cita kita belum terwujud maka kita menyadari bahwa semuanya telah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu kita tidak akan kebingungan dalam menghadapi kehidupan ini dan kita tidak akan mengandai-andai bahwa jika kita melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, dan jika kita melakukan seperti apa yang dilakukan seseorang niscaya kita akan sukses seperti mereka.
Fenomena di atas telah meracuni sebagian manusia yang mengakibatkan mereka stress dan hidup dalam kesedihan. Namun seorang mukmin yang patuh pada hukum-hukum syar’i serta dilandasi keyakinan pada qadla ilahi pasti akan selamat dari musibah dan penyakit ini. Karena mereka tahu bahwa ini semua terjadi atas kehendak Allah. Dengan percaya dan ridho atas kehendakNya, maka mereka semakin tenang dan yakin bahwa kehendak Allah tersebut adalah yang terbaik bagi mereka.
Pada akhirnya kita akan tunduk dan menjalankan wasiat Nabi Muhammad SAW, yaitu :
استعن بالله ولاتعجز وان أصابك شئ فلا تقل لو أني فعلت كذا لكان كذا, فان لو تفتح عمل الشيطان ولكن قل قدر الله وما شاء فعل. (رواه مسلم)
Mintalah pertolongan pada Allah dan janganlah lemah, jika kamu tertimpa sesuatu janganlah kamu mengatakan bahwa sendainya saya melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, karena mengandai-andai itu akan membuka pintu sayetan. Akan tetapi katakanlah bahwa Allah telah menakdirkan seperti ini dan Allah berhak untuk melakukan apa saja yang Dia inginkan.
Kita juga harus tahu bahwa dengan adanya Qodho’ dan Qodar Allah bukan berarti kita tidak memiliki ikhtiyar (usaha), karena masalah Qodho’ dan Qodar itu tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya usaha manusia. Inilah hal yang perlu kita perhatikan dan janganlah kita tertipu oleh asumsi sebagian manusia dalam memahami makna Qodho’ dan Qodar. Dengan demikian kita akan selamat dari kesesatan dan hidup dalam penuh kehormatan dan ketenangan.
Wallohu ‘alam bissawab
Selasa, 19 November 2013
Agama sebagai konsep
Agama Sebagai Konsep
Sesungguhnya agama –dalam hal ini Islam- adalah konsep hidup yang disusun oleh Tuhan untuk manusia. Sebagai konsep yang disusun oleh Tuhan yang Maha Sempurna, konsep Islam pastilah sempurna, dan ia terpelihara di lauh mahfudz (langit) yang duplikatnya bisa digali dari wahyu al Qur’an. Jika orang mengatakan Islam adalah sempurna dan benar secara mutlak, (al islamu ya`lu wa la yu`la `alaih) maka yang dimaksud adalah dalam pengertian ini.
Ketika konsep itu diturunkan ke muka bumi dan dicontohkan oleh Muhammad s.a.w sebagai utusan Tuhan, maka pada tingkat ini Islam juga sempurna dan benar secara mutlak. Tetapi apa yang diperspesi oleh para sahabat (masyarakat Islam pertama) tidak lagi bersifat sempurna dan tidak lagi mengandung kemutlakan, karena pemahaman manusia yang kodratnya tidak sempurna tidak pernah sempurna. Pemahaman para sahabat Nabi, bahkan sahabat besar seperti Abu baker, Umar, Usman dan Ali apa lagi sahabat-sahabat lain, dipengaruhi oleh karakter, kapasitas intelektual dan frekwensi komunikasi mereka dengan Rasul.Dari itu maka kita sudah dapat membedakan karakteristik sosok Abu baker yang ektrim lembut dan sosok Umar bin Khattab yang ektrim keras. Kita pun dapat melihat adanya perbedaan pendapat bahkan konflik antar sahabat. Tetapi kedekatan psikologi mereka dengan Rasul, tarikan cinta masih lebih kuat disbanding tarikan interest. Oleh karena itu Nabi menggambarkan perbedaan para sahabat dengan ragam bintang di langit, sahabat2wku semua itu ibarat bintang gemintang di langit, dengan siapapun kalian mengikuti, kalian akan memperoleh petunjuk (ashaby ka an nujum, biayyi iqtadaitum ihtadaitum).
Pada saat generasi sahabat sudah habis, para ulama menjadi dominant. Konsep Islam dikembangkan melalui ijtihad, dengan sumber teks al Qur’an dan tradisi Nabi. Pada tingkat ini sudah barang tentu konsep Islam sudah tidak lagi “sempurna” karena ijtihad memang tidak melahirkan kesempurnaan. Lahirnya mazhab-mazhab menunjukkan ketidak sempurnaan konsep tetapi sekaligus menunjukkan fleksibelitas ajaran Islam, karena kata Nabi, ijtihad yang benar memperoleh pahala dua, ijtihad yang salah memperoleh pahala satu.
Berikutnya, konsep Islam bercampur dengan budaya masyarakat kaum muslimin, ada yang lebih kental sebagai budaya Islam, ada juga yang sudah bisa disebut sebagai budaya muslimin.
Corak Keberagamaan
Manusia memiliki karakteristik psikologis yang berbeda-beda, yang berdampak pula pada perbedaan karakteristik keberagamaannya. Dalam perspektip Psikologi Islam, system nafsani manusia bekerja dengan sinergi subsitem `aql, qalb, bashirah, syahwat dan hawa. `Aql (akal) merupakan problem solving capacity yang kerjanya berfikir, Qalb (hati) merupakan alat untuk memahami realita, Bashirah (nurani) merupakan cahaya ketuhanan yang ada dalam hati (nurun yaqdzifuhulloh fi al qalbi), syahwat merupakan penggerak tingkah laku (motiv) dan hawa (hawa nafsu)merupakan penguji system. Orang yang lebih menggunakan akalnya biasa logic, terkadang kering, orang yang lebih menggunakan hatinya biasanya perasa, orang yang lebih mengunakan nuraninya biasanya pilihannya selalu tepat, orang yang lebih memanjakan syahwatnya mudah tergoda oleh kemewahan, dan orang yang lebih mengikuti hawa nafsunya cenderung sesat dan destruktip.
Nah beregamaan seseorang juga diwarnai oleh karakteristik kejiwaannya, apakah lebih logic, lebih perasa, lebih mengikuti cahaya, lebih mengabdi syahwat atau lebih mengikuti hawa nafsu.
Keberagamaan Yang Logik
Produk logika agama adalah pada ilmu yang bernama fiqh. Ilmu fiqh selalu menggunakan ilmu manthiq (logika) dalam merumuskan hokum-hukumnya, sah tidak sah, halal, haram dan seterusnya. Ketika orang yang berfiqih juga kuat dorongan syahwatnya maka ia bias menjadi munafiq, karena dalil agama bias dibelokkan menjadi halal atau haram bergantung kepada interestnya.
Keberagamaan yang penuh perasaan
Setiap kali ummat dilanda krisis materialisme (hubbul mal wal jah) maka fenomena tasauf selalu muncul.Tasauf merupakan olah rasa dimana merasa dekat dengan Tuhan lebih diutamakan daripada kebenaran logic. Nah ketika seorang mutasawwif sudah sama sekali tidak memperhatikan logika (fiqh atau syari’at) maka ketika itulah ia berpeluang menjadi zindiq, menjadi kafir, karena ia tertipu oleh perasaannya. Ia merasa sudah mikraj ke langit, padahal ia berada di dalam ruang simulasi jin atau syaitan.
Keberagamaan Yang Syahwati
Manusia dilengkapi Tuhan dengan dorongan syahwat atas lain jenis (seksual)anak-anak (kebanggaan naluriah), benda berharga (manfaat dan gengsi), kendaraan bagus (manfaat dan gengsi) ternak dan lading (manfaat dan gengsi). Orang sering tak sadar, dalam ekpressi keagamaan sesunguhnya mereka didorong oleh motiv syahwati. Ia merasa sangat bersemangat dalam membela syi`ar agama, tanpa disadari (dalam alam bawah sadar) mereka sesungguhnya sedang melakukan pemenuhan syahwat. Bahkan ketika mereka berteriak-teriak membela agama dari ancaman luar, sesungguhnya mereka sedang mengamankan kepentingan syahwat sendiri.
Keberagamaan hawiyyi (mengikuti hawa nafsu)
Ali bin Abi Talib r.a. ketika dalam medan perang jihad sudah hampir berhasil membunuh musuh. Tiba-tiba si kafir yang sudah terpojok meludahi wajah Ali dengan ludah yang banyak. Spontan Ali terusik perasaannya dan marah. Begitu sadar sedang dalam kemarahan, maka Ali mengalihkan jihadnya dari membunuh musuh ke menekan hawa nafsunya agar tidak membunuh ketika hati sedang marah, dan musuhnya justeru disuruh pergi dari mukanya. Mengapa Ali berbuat demikian ? karena jika Ali membunuh musuh dalam keadaan marah karena diludahi, maka ia tidak lagi sedang berjihad di jalan Allah, tetapi di jalan syaitan, karena marah (ghadlab) memang media syaitan dalam menyesatkan manusia. Nah bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Amrozi cs., apakah mereka sedang berjihad atau sedang melakukan perilaku menyimpang. Memerangi hawa nafsu itulah jihad al akbar (perjuangan besar) sedangkan perang fisik adalah jihad al asghar (perjuangan kecil).
Keberagamaan yang nuraniyy
Nuraniyyun artinya bersifat cahaya. Nurani atau hati nurani dalam al Qur’an disebut bashirah yang artinya pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Nurani bercahaya manakala hati bersih dari kotoran batin. Cahaya nurani dapat menembus sekat-sekat ruang dan waktu , sehingga ia seperti bisa meramalkan masa depan. Dalam bahasa tasauf, orang yang nuraninya hidup dapat melihat dengan penglihatan Tuhan dan dapat mendengar dengan pendengaran Tuhan. Cahaya nurani redup oleh dosa kecil, dan tertutup oleh keserakahan dan maksiat. Orang yang keberagamaanya bersifat nuraniyy pada umumnya ia akrab dengan penderitaan manusia, dan bahkan makhluk. Cahaya nurani merupakan perwujudan dari rahmat Allah dimana ia memperolehnya karena ia menyayangi makhluk Alloh. Hal ini selalu diingatkan oleh Nabi, sayangi yang di bumi, niscaya Tuhan yang di langit menyayangimu, irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Orang yang sadis kepada hewan apalagi kepada manusia pasti nuraninya mati. Jika orang nuraninya mati maka ia seperti orang yang berjalan di tengah kegelapan, dan karena kegelapan ia tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kegelapan dalam bahasa Arab disebut dzulm-dzulumat, orangnya disebut dzalim.. Praktek terorisme misalnya dapat dilihat akar sejarahnya pada tokoh Syi`ah ekstrim Hasan bin Sabah dari sekte Hassyasyin (1057) yang diberi gelar The Old Man of The Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia) yang mengorganisir pemuda untuk melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya secara tiba-tiba dengan terlebih dahulu menggunakan hasyis/narkoba.
Beragama secara sehat
Kita tidak boleh mengklaim diri sebagai yang terbenar, karena kebenaran hanya milik Alloh, tetapi kita dianjurkan untuk selalu mendekati kebenaran sambil tetap mengakui bahwa hanya Allah yang paling tahu terhadap kebenaran (wallohu a`lamu bi as shawab). Ukuran kebenaran beragama secara keilmuan adalah apabila kita berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnnah Rasul, dan dalam mencari kebenaran tetap mengikuti system pemahaman (ijtihad) yang telah dibangun oleh para pendahulu kita. Beragama yang sehat adalah beragama yang mengikuti panduan secara komprehensip, vertical dan horizontal, bahkan internal. Perilaku menyimpang dari orang beragama bisa karena gangguan kejiwaan atau karena sesat piker dan salah merasa. Oleh karena itu orang beragama dalam hidupnya harus bisa berfikir sehat (logic), senang bertafakkur dan jangan lupa tadabbur. Olah rasa(tasauf) harus berdiri diatas landasan syari`ah, beragama juga harus berilmu; Mengutip Murtadla Muthahhari dalam buku Allah fi Hayat al Insan, hubungan agama dan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan
Agama menentukan arah yang dituju
Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkunganya
Agama menyesuaikan manusia dengan jati dirinya
Ilmu hiasan lahir, sedangkan agama hiasan batin
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan
Agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa
Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”
Agama menjawab, yang dimulai dengan “mengapa”
Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya
Sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Wallohu a`lam
Sumber: Mubarok institute
Sesungguhnya agama –dalam hal ini Islam- adalah konsep hidup yang disusun oleh Tuhan untuk manusia. Sebagai konsep yang disusun oleh Tuhan yang Maha Sempurna, konsep Islam pastilah sempurna, dan ia terpelihara di lauh mahfudz (langit) yang duplikatnya bisa digali dari wahyu al Qur’an. Jika orang mengatakan Islam adalah sempurna dan benar secara mutlak, (al islamu ya`lu wa la yu`la `alaih) maka yang dimaksud adalah dalam pengertian ini.
Ketika konsep itu diturunkan ke muka bumi dan dicontohkan oleh Muhammad s.a.w sebagai utusan Tuhan, maka pada tingkat ini Islam juga sempurna dan benar secara mutlak. Tetapi apa yang diperspesi oleh para sahabat (masyarakat Islam pertama) tidak lagi bersifat sempurna dan tidak lagi mengandung kemutlakan, karena pemahaman manusia yang kodratnya tidak sempurna tidak pernah sempurna. Pemahaman para sahabat Nabi, bahkan sahabat besar seperti Abu baker, Umar, Usman dan Ali apa lagi sahabat-sahabat lain, dipengaruhi oleh karakter, kapasitas intelektual dan frekwensi komunikasi mereka dengan Rasul.Dari itu maka kita sudah dapat membedakan karakteristik sosok Abu baker yang ektrim lembut dan sosok Umar bin Khattab yang ektrim keras. Kita pun dapat melihat adanya perbedaan pendapat bahkan konflik antar sahabat. Tetapi kedekatan psikologi mereka dengan Rasul, tarikan cinta masih lebih kuat disbanding tarikan interest. Oleh karena itu Nabi menggambarkan perbedaan para sahabat dengan ragam bintang di langit, sahabat2wku semua itu ibarat bintang gemintang di langit, dengan siapapun kalian mengikuti, kalian akan memperoleh petunjuk (ashaby ka an nujum, biayyi iqtadaitum ihtadaitum).
Pada saat generasi sahabat sudah habis, para ulama menjadi dominant. Konsep Islam dikembangkan melalui ijtihad, dengan sumber teks al Qur’an dan tradisi Nabi. Pada tingkat ini sudah barang tentu konsep Islam sudah tidak lagi “sempurna” karena ijtihad memang tidak melahirkan kesempurnaan. Lahirnya mazhab-mazhab menunjukkan ketidak sempurnaan konsep tetapi sekaligus menunjukkan fleksibelitas ajaran Islam, karena kata Nabi, ijtihad yang benar memperoleh pahala dua, ijtihad yang salah memperoleh pahala satu.
Berikutnya, konsep Islam bercampur dengan budaya masyarakat kaum muslimin, ada yang lebih kental sebagai budaya Islam, ada juga yang sudah bisa disebut sebagai budaya muslimin.
Corak Keberagamaan
Manusia memiliki karakteristik psikologis yang berbeda-beda, yang berdampak pula pada perbedaan karakteristik keberagamaannya. Dalam perspektip Psikologi Islam, system nafsani manusia bekerja dengan sinergi subsitem `aql, qalb, bashirah, syahwat dan hawa. `Aql (akal) merupakan problem solving capacity yang kerjanya berfikir, Qalb (hati) merupakan alat untuk memahami realita, Bashirah (nurani) merupakan cahaya ketuhanan yang ada dalam hati (nurun yaqdzifuhulloh fi al qalbi), syahwat merupakan penggerak tingkah laku (motiv) dan hawa (hawa nafsu)merupakan penguji system. Orang yang lebih menggunakan akalnya biasa logic, terkadang kering, orang yang lebih menggunakan hatinya biasanya perasa, orang yang lebih mengunakan nuraninya biasanya pilihannya selalu tepat, orang yang lebih memanjakan syahwatnya mudah tergoda oleh kemewahan, dan orang yang lebih mengikuti hawa nafsunya cenderung sesat dan destruktip.
Nah beregamaan seseorang juga diwarnai oleh karakteristik kejiwaannya, apakah lebih logic, lebih perasa, lebih mengikuti cahaya, lebih mengabdi syahwat atau lebih mengikuti hawa nafsu.
Keberagamaan Yang Logik
Produk logika agama adalah pada ilmu yang bernama fiqh. Ilmu fiqh selalu menggunakan ilmu manthiq (logika) dalam merumuskan hokum-hukumnya, sah tidak sah, halal, haram dan seterusnya. Ketika orang yang berfiqih juga kuat dorongan syahwatnya maka ia bias menjadi munafiq, karena dalil agama bias dibelokkan menjadi halal atau haram bergantung kepada interestnya.
Keberagamaan yang penuh perasaan
Setiap kali ummat dilanda krisis materialisme (hubbul mal wal jah) maka fenomena tasauf selalu muncul.Tasauf merupakan olah rasa dimana merasa dekat dengan Tuhan lebih diutamakan daripada kebenaran logic. Nah ketika seorang mutasawwif sudah sama sekali tidak memperhatikan logika (fiqh atau syari’at) maka ketika itulah ia berpeluang menjadi zindiq, menjadi kafir, karena ia tertipu oleh perasaannya. Ia merasa sudah mikraj ke langit, padahal ia berada di dalam ruang simulasi jin atau syaitan.
Keberagamaan Yang Syahwati
Manusia dilengkapi Tuhan dengan dorongan syahwat atas lain jenis (seksual)anak-anak (kebanggaan naluriah), benda berharga (manfaat dan gengsi), kendaraan bagus (manfaat dan gengsi) ternak dan lading (manfaat dan gengsi). Orang sering tak sadar, dalam ekpressi keagamaan sesunguhnya mereka didorong oleh motiv syahwati. Ia merasa sangat bersemangat dalam membela syi`ar agama, tanpa disadari (dalam alam bawah sadar) mereka sesungguhnya sedang melakukan pemenuhan syahwat. Bahkan ketika mereka berteriak-teriak membela agama dari ancaman luar, sesungguhnya mereka sedang mengamankan kepentingan syahwat sendiri.
Keberagamaan hawiyyi (mengikuti hawa nafsu)
Ali bin Abi Talib r.a. ketika dalam medan perang jihad sudah hampir berhasil membunuh musuh. Tiba-tiba si kafir yang sudah terpojok meludahi wajah Ali dengan ludah yang banyak. Spontan Ali terusik perasaannya dan marah. Begitu sadar sedang dalam kemarahan, maka Ali mengalihkan jihadnya dari membunuh musuh ke menekan hawa nafsunya agar tidak membunuh ketika hati sedang marah, dan musuhnya justeru disuruh pergi dari mukanya. Mengapa Ali berbuat demikian ? karena jika Ali membunuh musuh dalam keadaan marah karena diludahi, maka ia tidak lagi sedang berjihad di jalan Allah, tetapi di jalan syaitan, karena marah (ghadlab) memang media syaitan dalam menyesatkan manusia. Nah bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Amrozi cs., apakah mereka sedang berjihad atau sedang melakukan perilaku menyimpang. Memerangi hawa nafsu itulah jihad al akbar (perjuangan besar) sedangkan perang fisik adalah jihad al asghar (perjuangan kecil).
Keberagamaan yang nuraniyy
Nuraniyyun artinya bersifat cahaya. Nurani atau hati nurani dalam al Qur’an disebut bashirah yang artinya pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Nurani bercahaya manakala hati bersih dari kotoran batin. Cahaya nurani dapat menembus sekat-sekat ruang dan waktu , sehingga ia seperti bisa meramalkan masa depan. Dalam bahasa tasauf, orang yang nuraninya hidup dapat melihat dengan penglihatan Tuhan dan dapat mendengar dengan pendengaran Tuhan. Cahaya nurani redup oleh dosa kecil, dan tertutup oleh keserakahan dan maksiat. Orang yang keberagamaanya bersifat nuraniyy pada umumnya ia akrab dengan penderitaan manusia, dan bahkan makhluk. Cahaya nurani merupakan perwujudan dari rahmat Allah dimana ia memperolehnya karena ia menyayangi makhluk Alloh. Hal ini selalu diingatkan oleh Nabi, sayangi yang di bumi, niscaya Tuhan yang di langit menyayangimu, irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Orang yang sadis kepada hewan apalagi kepada manusia pasti nuraninya mati. Jika orang nuraninya mati maka ia seperti orang yang berjalan di tengah kegelapan, dan karena kegelapan ia tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kegelapan dalam bahasa Arab disebut dzulm-dzulumat, orangnya disebut dzalim.. Praktek terorisme misalnya dapat dilihat akar sejarahnya pada tokoh Syi`ah ekstrim Hasan bin Sabah dari sekte Hassyasyin (1057) yang diberi gelar The Old Man of The Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia) yang mengorganisir pemuda untuk melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya secara tiba-tiba dengan terlebih dahulu menggunakan hasyis/narkoba.
Beragama secara sehat
Kita tidak boleh mengklaim diri sebagai yang terbenar, karena kebenaran hanya milik Alloh, tetapi kita dianjurkan untuk selalu mendekati kebenaran sambil tetap mengakui bahwa hanya Allah yang paling tahu terhadap kebenaran (wallohu a`lamu bi as shawab). Ukuran kebenaran beragama secara keilmuan adalah apabila kita berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnnah Rasul, dan dalam mencari kebenaran tetap mengikuti system pemahaman (ijtihad) yang telah dibangun oleh para pendahulu kita. Beragama yang sehat adalah beragama yang mengikuti panduan secara komprehensip, vertical dan horizontal, bahkan internal. Perilaku menyimpang dari orang beragama bisa karena gangguan kejiwaan atau karena sesat piker dan salah merasa. Oleh karena itu orang beragama dalam hidupnya harus bisa berfikir sehat (logic), senang bertafakkur dan jangan lupa tadabbur. Olah rasa(tasauf) harus berdiri diatas landasan syari`ah, beragama juga harus berilmu; Mengutip Murtadla Muthahhari dalam buku Allah fi Hayat al Insan, hubungan agama dan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan
Agama menentukan arah yang dituju
Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkunganya
Agama menyesuaikan manusia dengan jati dirinya
Ilmu hiasan lahir, sedangkan agama hiasan batin
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan
Agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa
Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”
Agama menjawab, yang dimulai dengan “mengapa”
Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya
Sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Wallohu a`lam
Sumber: Mubarok institute
Senin, 04 November 2013
7 Wasiat Rasulallah kepada al-Ghifari
7 (tujuh) Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sahabat Abu Dzar alghifari ra;
“Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal;
1. Supaya aku mencintai orang orang miskin dan dekat dengan mereka.
2. Beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku.
3. Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku.
4. Aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah).
5. Aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit.
6. Beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah SWT.
7. Dan Beliau melarang aku agar tidak meminta minta sesuatu pun kepada manusia..”
(HR. Ahmad 5: 159, shahih).
“Kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal;
1. Supaya aku mencintai orang orang miskin dan dekat dengan mereka.
2. Beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku.
3. Beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku.
4. Aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah).
5. Aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit.
6. Beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah SWT.
7. Dan Beliau melarang aku agar tidak meminta minta sesuatu pun kepada manusia..”
(HR. Ahmad 5: 159, shahih).
7 Tingkatan Diri
7 tingkatan pemahaman tentang diri
1. Diri yang menguasai,
yaitu keadaan dimana manusia telah didominasi seluruh harap dan keinginannya hanya semata-mata untuk memperturutkan hawa nafsunya. Pada tingkatan ini seseorang bagaiakan telah dikuasai candu yang sudah akut, dirinya menyangkal bahwa dirinya bermasalah dan tidak mau sedikitpun untuk mempunyai kebutuhan dalam berubah
2. Diri yang penuh penyesalan
Pada tingkatan ini sebenarnya keingianan hawa nafsu masih dominan, tetapi orang tersebut telah mulai menyadari dan menyesali serta telah melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan lebih jelas. Keadaan ini ibarat para pecandu yang mulai mengakui tingkat kecanduannya dan memahami penyakit yang akan di idap. Seseorang dalam tingkatan ini sangat perlu untuk dibimbing karena mereka sendiri belum mampu mengubah segalanya menuju jalan yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Diri yang terilhami (mulham)
Pada tingkatan ini diri telah dapat merasakan pengalaman spiritual yang melahirkan nilai-nilai ideal, seperti kedamaian, pelayanan, serta pentingnya pedoman. Ia mulai merasakan artinya dari esensial hidup dengan landasan nilai-nilai yang luhur dan tinggi, sehingga hal itu dapat melemahkan segala keinginan nafsu yang rendah dan fatamorgana.
4. Diri yang puas/senang
Pada tingkatan ini, segala ego telah dapat dikendalikan dengan stabil, sehingga yang muncul adalah perasaan yang utuh dalam berbuat dengan lebih terpuji lagi sebagai ekspresi diri dalam bersyukur kepada tuhan.
5. Diri yang disenangkan
Pada tingkatan ini, individu telah ridha dengan segala kesenangan yang diperolehnya tanpa berhenti untuk selalu meningkatkannya dan juga yang terpenting ia telah ridha atas segala ujian dari kesulitan hidup yang harus dijalaninya tanpa mengeluh apalagi putus asa. Cara pandang yang dijadikan dasar pada tingkatan ini bahwa semuanya telah atas kehendak Tuhan yang berhak mengatur dirinya dengan segala IradhaNya. Istilah yang dipakai dari tingkatan ini ialah yang pahit dirasakan manis, dan yang telah manis dirasakan menjadi lebih manis lagi.
6. Diri yang meyenangkan Tuhan
Prinsip yang menjadi dasar pada tingkatan ini ialah kebulatan batin anatara diri dan jiwa yang otentik dalam artian timbulnya kesadaran dengan sesadar-sadarnya bahwa semua kekuatan untuk berbuat dating dari tuhan dan ia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa tuhan.
7. Diri yang murni/suci
Inilah puncak dari seluruh tingkatan yang ada. Yaitu keadaan diri yang telah tidak ada ego, yang ada adalah percikan sifat-sifat tuhan dalam setiap perasaan individualitasnya. Sehingga yang tersembunyi dibalik semesta alam akan muncul dalam layar kesadarannya.
1. Diri yang menguasai,
yaitu keadaan dimana manusia telah didominasi seluruh harap dan keinginannya hanya semata-mata untuk memperturutkan hawa nafsunya. Pada tingkatan ini seseorang bagaiakan telah dikuasai candu yang sudah akut, dirinya menyangkal bahwa dirinya bermasalah dan tidak mau sedikitpun untuk mempunyai kebutuhan dalam berubah
2. Diri yang penuh penyesalan
Pada tingkatan ini sebenarnya keingianan hawa nafsu masih dominan, tetapi orang tersebut telah mulai menyadari dan menyesali serta telah melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan lebih jelas. Keadaan ini ibarat para pecandu yang mulai mengakui tingkat kecanduannya dan memahami penyakit yang akan di idap. Seseorang dalam tingkatan ini sangat perlu untuk dibimbing karena mereka sendiri belum mampu mengubah segalanya menuju jalan yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Diri yang terilhami (mulham)
Pada tingkatan ini diri telah dapat merasakan pengalaman spiritual yang melahirkan nilai-nilai ideal, seperti kedamaian, pelayanan, serta pentingnya pedoman. Ia mulai merasakan artinya dari esensial hidup dengan landasan nilai-nilai yang luhur dan tinggi, sehingga hal itu dapat melemahkan segala keinginan nafsu yang rendah dan fatamorgana.
4. Diri yang puas/senang
Pada tingkatan ini, segala ego telah dapat dikendalikan dengan stabil, sehingga yang muncul adalah perasaan yang utuh dalam berbuat dengan lebih terpuji lagi sebagai ekspresi diri dalam bersyukur kepada tuhan.
5. Diri yang disenangkan
Pada tingkatan ini, individu telah ridha dengan segala kesenangan yang diperolehnya tanpa berhenti untuk selalu meningkatkannya dan juga yang terpenting ia telah ridha atas segala ujian dari kesulitan hidup yang harus dijalaninya tanpa mengeluh apalagi putus asa. Cara pandang yang dijadikan dasar pada tingkatan ini bahwa semuanya telah atas kehendak Tuhan yang berhak mengatur dirinya dengan segala IradhaNya. Istilah yang dipakai dari tingkatan ini ialah yang pahit dirasakan manis, dan yang telah manis dirasakan menjadi lebih manis lagi.
6. Diri yang meyenangkan Tuhan
Prinsip yang menjadi dasar pada tingkatan ini ialah kebulatan batin anatara diri dan jiwa yang otentik dalam artian timbulnya kesadaran dengan sesadar-sadarnya bahwa semua kekuatan untuk berbuat dating dari tuhan dan ia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa tuhan.
7. Diri yang murni/suci
Inilah puncak dari seluruh tingkatan yang ada. Yaitu keadaan diri yang telah tidak ada ego, yang ada adalah percikan sifat-sifat tuhan dalam setiap perasaan individualitasnya. Sehingga yang tersembunyi dibalik semesta alam akan muncul dalam layar kesadarannya.
5 Tipe Shalat Seseorang
Dimana Posisi Shalat Kita?
Abdul Malik bin Muhammad, dalam kitabnya membagi manusia dalam lima tingkatan terkait dengan shalat.
Pertama, Mu’aqab (kelompok yang diazab). Mereka adalah golongan manusia yang mengerjakan shalat, tetapi salah menjalankannya dan jauh dari sempurna. Selain syarat dan rukunnya diabaikan, mulai dari pelaksanaan wudlu hingga soal thaharah lainnya juga tidak mendapat perhatian. Dapat dikatakan, mereka itu shalat asal-asalan.
Waktu shalat sering dilaksanakan di luar waktunya, sering terlambat, bahkan sering kali tidak dilaksanakan. Merekalah yang dalam al-Qur’an disebut “’an shalatihim sahun” orang yang lalai dalam mengerjakan shalat. Kelompok ini juga termasuk orang yang dhalimun linafsihi, orang yang menzalimi diri sendiri.
Kedua, Muhasab (kelompok yang dihisab). Golongan ini adalah mereka yang rajin melaksanakan shalat, menjaga waktu-waktunya, demikian juga syarat, wajib, dan rukunnya. Secara lahiriyah seluruh ketentuan mengenai shalat sudah dipenuhinya. Wudlunya bagus, pakaiannya menutup aurat, tidak terkena najis, menghadap qiblat, tepat waktu, demikian juga semua rukun shalat tiada cacat.
Sayang, satu hal yang kurang pada kelompok ini adalah kehadiran hatinya. Pada saat shalat, hati dan pikirannya tidak dijaga sehingga melayang-layang entah kemana.
Ketiga, mukaffar ‘anhu (yang diampuni dosa-dosanya). Setingkat lebih baik lagi adalah kelompok orang yang senantiasa menjaga batasan-batasan shalat, menjalankan wajib dan rukunnya, bahkan menjalankan sunnah-sunnahnya, sekaligus bersungguh-sungguh di sisi Allah SWT dari segala godaan nafsu was-was yang mengotori pikiran dan perasaannya.
Dalam shalatnya mereka sibuk menjaga hati dan pikirannya. Mereka berkonsentrasi penuh agar setan tidak berkesempatan mencuri shalatnya.
Keempat, mutsab (yang diberi pahala). Tak sekadar diampuni dosa-dosanya, mereka termasuk orang yang berhak mendapat pahala yang berlimpah. Mereka ini adalah segolongan kecil orang yang aqimush-shalat (menegakkan shalat), tidak sekadar menjalankannya.
Golongan ini menegakkan shalat dengan hak-haknya, rukun-rukunnya dan hatinya tenggelam dalam menjaga batasan-batasannya. Mereka tidak membiarkan hatinya sedikit pun terlena dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi shalatnya. Pada tingkatan ini seluruh anggota tubuhnya berzikir, pikirannya berzikir, juga hatinya berzikir, sebagaimna firman-Nya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha [20]: 14)
Kelima, muqarrib min Rabbihi (yang mendekatkan diri kepada Allah). Menurut penulis buku ini, tingkatan yang paling tinggi adalah orang yang menegakkan shalat sampai pada tahab muqarrabin, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah. Ketika shalat, golongan ini merasa benar-benar bertemu dan berhadapan dengan Allah. Jika tidak melihat Allah, maka mereka yakin bahwa Allah melihatnya. Mereka meletakkan hatinya di hadapan Allah, merasa diawasi Allah, dan hatinya penuh dengan kedekatan kepada Allah. Di hatinya telah sirna segala was- was dan segala pikiran di luar shalat. Mereka itulah orang-orang yang disebut Nabi SAW sebagai muhsinin.* Wallahu a’lam. SUARA HIDAYATULLAH JUNI 2013
Abdul Malik bin Muhammad, dalam kitabnya membagi manusia dalam lima tingkatan terkait dengan shalat.
Pertama, Mu’aqab (kelompok yang diazab). Mereka adalah golongan manusia yang mengerjakan shalat, tetapi salah menjalankannya dan jauh dari sempurna. Selain syarat dan rukunnya diabaikan, mulai dari pelaksanaan wudlu hingga soal thaharah lainnya juga tidak mendapat perhatian. Dapat dikatakan, mereka itu shalat asal-asalan.
Waktu shalat sering dilaksanakan di luar waktunya, sering terlambat, bahkan sering kali tidak dilaksanakan. Merekalah yang dalam al-Qur’an disebut “’an shalatihim sahun” orang yang lalai dalam mengerjakan shalat. Kelompok ini juga termasuk orang yang dhalimun linafsihi, orang yang menzalimi diri sendiri.
Kedua, Muhasab (kelompok yang dihisab). Golongan ini adalah mereka yang rajin melaksanakan shalat, menjaga waktu-waktunya, demikian juga syarat, wajib, dan rukunnya. Secara lahiriyah seluruh ketentuan mengenai shalat sudah dipenuhinya. Wudlunya bagus, pakaiannya menutup aurat, tidak terkena najis, menghadap qiblat, tepat waktu, demikian juga semua rukun shalat tiada cacat.
Sayang, satu hal yang kurang pada kelompok ini adalah kehadiran hatinya. Pada saat shalat, hati dan pikirannya tidak dijaga sehingga melayang-layang entah kemana.
Ketiga, mukaffar ‘anhu (yang diampuni dosa-dosanya). Setingkat lebih baik lagi adalah kelompok orang yang senantiasa menjaga batasan-batasan shalat, menjalankan wajib dan rukunnya, bahkan menjalankan sunnah-sunnahnya, sekaligus bersungguh-sungguh di sisi Allah SWT dari segala godaan nafsu was-was yang mengotori pikiran dan perasaannya.
Dalam shalatnya mereka sibuk menjaga hati dan pikirannya. Mereka berkonsentrasi penuh agar setan tidak berkesempatan mencuri shalatnya.
Keempat, mutsab (yang diberi pahala). Tak sekadar diampuni dosa-dosanya, mereka termasuk orang yang berhak mendapat pahala yang berlimpah. Mereka ini adalah segolongan kecil orang yang aqimush-shalat (menegakkan shalat), tidak sekadar menjalankannya.
Golongan ini menegakkan shalat dengan hak-haknya, rukun-rukunnya dan hatinya tenggelam dalam menjaga batasan-batasannya. Mereka tidak membiarkan hatinya sedikit pun terlena dari segala hal yang dapat mengganggu konsentrasi shalatnya. Pada tingkatan ini seluruh anggota tubuhnya berzikir, pikirannya berzikir, juga hatinya berzikir, sebagaimna firman-Nya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha [20]: 14)
Kelima, muqarrib min Rabbihi (yang mendekatkan diri kepada Allah). Menurut penulis buku ini, tingkatan yang paling tinggi adalah orang yang menegakkan shalat sampai pada tahab muqarrabin, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah. Ketika shalat, golongan ini merasa benar-benar bertemu dan berhadapan dengan Allah. Jika tidak melihat Allah, maka mereka yakin bahwa Allah melihatnya. Mereka meletakkan hatinya di hadapan Allah, merasa diawasi Allah, dan hatinya penuh dengan kedekatan kepada Allah. Di hatinya telah sirna segala was- was dan segala pikiran di luar shalat. Mereka itulah orang-orang yang disebut Nabi SAW sebagai muhsinin.* Wallahu a’lam. SUARA HIDAYATULLAH JUNI 2013
3 Kategori Ibadah Menurut Ali bin Abi Thalib
Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah membagi amalan ibadah kaum muslimin ke dalam tiga katagori.
Pertama, golongan orang yang beribadah karena mengharapkan sesuatu dari Allah swt. Ia beribadah karena pamrih. Golongan itu dikatagorikan sebagai Ibadatut-Tujjaar, ibadahnya pedagang. Dalam prinsip ekonomi, seseorang melakukan usaha dimaksudkan untuk mendapatkan untung. Jika perlu dengan pengorbanan yang sedikit mendapatkan hasil yang banyak. Demikian pula dalam hal ibadah, mereka pilih-pilih di antara ibadah yang paling banyak mendatangkan keuntungan.
Ibadah macam ini diperbolehkan, karena Allah sendiri dalam berbagai ayat-Nya telah memotivasi ummat Islam agar gemar melaksanakan ibadah dengan iming-iming pahala yang banyak. Di antaranya adalah surga. Beribadah dengan mengharapkan surga itu hal yang lumrah. Salah satu contohnya Allah berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS an-Nisaa: 122)
Masalahnya kemudian adalah bahwa pahala itu tidak langsung diterima pada saat seseorang melakukan suatu amalan ibadah, melainkan disimpan untuk kehidupan di akhirat. Penundaan ini menjadikan banyak orang tidak sabar. Maunya cepat menikmati. Karenanya kemudian banyak orang jadi enggan atau bermalas-malasan melakukan ibadah. Mereka merasa bahwa pahala itu kurang riil, tidak cash, dan waktu pengambilannya teralu lama.
Golongan ibadatut-tujjar ini tampak kurang konsisten dalam beribadah. Ada pasang surut sesuai dengan kondisi kantungnya. Jika kantongnya tebal, ia rajin shalat dan ibadah lainnya. Tapi jika kantongnya lagi kosong, iapun tak segan meninggalkannya.
Kedua dari orang yang beribadah adalah mereka yang menjalankan rangkaian ibadah karena takut siksa Allah. Karenanya mereka dikelompokkan Ali ra sebagai 'Ibadatul-'Abid (Ibadahnya Seorang Budak). Seorang budak mempunyai mental yang khas, yaitu ia baru bekerja atau melakukan sesuatu jika disuruh dan disertai ancaman. Ia merasa bahwa hasil dari amalannya itu bukan untuk dirinya.
Seorang budak baru mau bekerja jika ada "upah". Jika upahnya besar, ia rajin. Sebaliknya jika upahnya biasa-biasa saja, ia cenderung bermalas-malasan. Bagi budak seperti ini kecenderungannya memilih yang wajib-wajib saja, sedangkan yang sunnah dikurangi.
Ibadah seperti seorang budak tidak menjadi soal, boleh-boleh saja. Asal ibadahnya ikhlas semata-mata karena Allah, pasti diterima. Jika ia minta balasan surga, Allah akan memberinya. Jika ia ingin lepas dari siksa neraka, Allah juga mengabulkannya. Beribadah seperti pedagang atau seperti seorang budak bagi Allah tidak jadi soal. Yang dipersoalkan-Nya adalah niat yang ikhlas lillahi ta'ala. Sedikit saja ada noda yang mengotori niat ini, ibadahnya akan menjadi cacat. Bisa jadi tidak diterima.
Dari dua katagori di atas, ada sekelompok orang yang beribadah bukan karena menginginkan surga atau pahala, juga bukan karena takut ancaman Allah berupa siksa nereka. Kelompok ini beribadah kepada Allah semata-mata karena rasa syukurnya. Jika kepada mereka ditanyakan, seandainya tidak ada surga dan neraka, apakah tetap akan beribadah, dengan suara mantap mereka akan menjawab: Ya, saya akan tetap beribadah.
Jika dikejar dengan pertanyaan apa gunanya, orang tersebut tentu akan balik bertanya, 'Bukankah saya patut bersyukur telah dijadikan Allah sebagai manusia, makhluq yang paling mulia? Bukankah pantas bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi saya akal dan fikiran yang sehat? Bukankah wajar bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi hidayah sehingga saya menjadi seorang mukmin?'
Suatu malam 'Aisyah melihat suaminya, Rasulullah saw sedang asyik menjalankan shalat malam. Lama sekali beliau berdiri, ruku' dan sujud. Manakala beliau berdo'a bergemuruh dari dalam dadanya, bergetar seluruh badannya, dan tumpah seluruh air matanya. Malam itu Rasulullah benar-benar tenggelam dalam munajat kepada Allah swt. Melihat hal itu 'Aisyah merasa iba, kemudian bertanya, 'Wahai, bukankah Anda seorang Rasul, kekasih Allah? Bukankah Anda seorang yang ma'shum, yang dihindarkan dari berbuat salah dan dosa? Bukankah Anda seorang yang segala doanya dikabulkan oleh Allah? Jika demikian, kenapa Anda bersusah-payah berdiri di malam hari sampai kakinya bengkak, menangis hingga matanya sembab?'
Rasulullah hanya menjawab pendek, 'Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?'
Kualitas ibadah yang dijalani seseorang yang didorong oleh rasa syukurnya tentu sangat berbeda dengan kualitas ibadahnya bisnismen atau budak. Jika pebisnis beribadah sangat tergantung pada tebal tipisnya kantong, maka ibadahnya orang yang bersyukur tidak kenal situasi. Dalam segala kondisi, baik sedang sedih atau gembira, susah atau mudah, ia tetap menjalankan ibadah.
Mutu ibadahnya seorang budak sangat tergantung pada besar kecilnya upah, berat ringannya ancaman siksa, tapi bagi seorang yang beribadah didorong oleh manifestasi syukurnya, hal itu tidak menjadi masalah. Tanpa upah sedikitpun, ia tetap beribadah. Bahkan andaikata ia ditetapkan masuk neraka, ia tetap beribadah.
Bagi orang yang sudah pada tingkatan ini, permintaannya hanya satu, ridha Allah semata-mata. Tentang akan ditempatkan di mana, surga atau neraka itu tidak menjadi soal. Bukankah ia juga yakin bahwa Allah itu Maha Kasih dan Sayang. Tentu Allah tidak akan menempatkan kekasih yang diridhai-Nya di tempat yang menyengsarakannya. Mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang yang diridhai di dalam satu tempat yang diridhai, yaitu surga. Kepada mereka, Allah berseru:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr: 27-30)•
Pertama, golongan orang yang beribadah karena mengharapkan sesuatu dari Allah swt. Ia beribadah karena pamrih. Golongan itu dikatagorikan sebagai Ibadatut-Tujjaar, ibadahnya pedagang. Dalam prinsip ekonomi, seseorang melakukan usaha dimaksudkan untuk mendapatkan untung. Jika perlu dengan pengorbanan yang sedikit mendapatkan hasil yang banyak. Demikian pula dalam hal ibadah, mereka pilih-pilih di antara ibadah yang paling banyak mendatangkan keuntungan.
Ibadah macam ini diperbolehkan, karena Allah sendiri dalam berbagai ayat-Nya telah memotivasi ummat Islam agar gemar melaksanakan ibadah dengan iming-iming pahala yang banyak. Di antaranya adalah surga. Beribadah dengan mengharapkan surga itu hal yang lumrah. Salah satu contohnya Allah berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS an-Nisaa: 122)
Masalahnya kemudian adalah bahwa pahala itu tidak langsung diterima pada saat seseorang melakukan suatu amalan ibadah, melainkan disimpan untuk kehidupan di akhirat. Penundaan ini menjadikan banyak orang tidak sabar. Maunya cepat menikmati. Karenanya kemudian banyak orang jadi enggan atau bermalas-malasan melakukan ibadah. Mereka merasa bahwa pahala itu kurang riil, tidak cash, dan waktu pengambilannya teralu lama.
Golongan ibadatut-tujjar ini tampak kurang konsisten dalam beribadah. Ada pasang surut sesuai dengan kondisi kantungnya. Jika kantongnya tebal, ia rajin shalat dan ibadah lainnya. Tapi jika kantongnya lagi kosong, iapun tak segan meninggalkannya.
Kedua dari orang yang beribadah adalah mereka yang menjalankan rangkaian ibadah karena takut siksa Allah. Karenanya mereka dikelompokkan Ali ra sebagai 'Ibadatul-'Abid (Ibadahnya Seorang Budak). Seorang budak mempunyai mental yang khas, yaitu ia baru bekerja atau melakukan sesuatu jika disuruh dan disertai ancaman. Ia merasa bahwa hasil dari amalannya itu bukan untuk dirinya.
Seorang budak baru mau bekerja jika ada "upah". Jika upahnya besar, ia rajin. Sebaliknya jika upahnya biasa-biasa saja, ia cenderung bermalas-malasan. Bagi budak seperti ini kecenderungannya memilih yang wajib-wajib saja, sedangkan yang sunnah dikurangi.
Ibadah seperti seorang budak tidak menjadi soal, boleh-boleh saja. Asal ibadahnya ikhlas semata-mata karena Allah, pasti diterima. Jika ia minta balasan surga, Allah akan memberinya. Jika ia ingin lepas dari siksa neraka, Allah juga mengabulkannya. Beribadah seperti pedagang atau seperti seorang budak bagi Allah tidak jadi soal. Yang dipersoalkan-Nya adalah niat yang ikhlas lillahi ta'ala. Sedikit saja ada noda yang mengotori niat ini, ibadahnya akan menjadi cacat. Bisa jadi tidak diterima.
Dari dua katagori di atas, ada sekelompok orang yang beribadah bukan karena menginginkan surga atau pahala, juga bukan karena takut ancaman Allah berupa siksa nereka. Kelompok ini beribadah kepada Allah semata-mata karena rasa syukurnya. Jika kepada mereka ditanyakan, seandainya tidak ada surga dan neraka, apakah tetap akan beribadah, dengan suara mantap mereka akan menjawab: Ya, saya akan tetap beribadah.
Jika dikejar dengan pertanyaan apa gunanya, orang tersebut tentu akan balik bertanya, 'Bukankah saya patut bersyukur telah dijadikan Allah sebagai manusia, makhluq yang paling mulia? Bukankah pantas bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi saya akal dan fikiran yang sehat? Bukankah wajar bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi hidayah sehingga saya menjadi seorang mukmin?'
Suatu malam 'Aisyah melihat suaminya, Rasulullah saw sedang asyik menjalankan shalat malam. Lama sekali beliau berdiri, ruku' dan sujud. Manakala beliau berdo'a bergemuruh dari dalam dadanya, bergetar seluruh badannya, dan tumpah seluruh air matanya. Malam itu Rasulullah benar-benar tenggelam dalam munajat kepada Allah swt. Melihat hal itu 'Aisyah merasa iba, kemudian bertanya, 'Wahai, bukankah Anda seorang Rasul, kekasih Allah? Bukankah Anda seorang yang ma'shum, yang dihindarkan dari berbuat salah dan dosa? Bukankah Anda seorang yang segala doanya dikabulkan oleh Allah? Jika demikian, kenapa Anda bersusah-payah berdiri di malam hari sampai kakinya bengkak, menangis hingga matanya sembab?'
Rasulullah hanya menjawab pendek, 'Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?'
Kualitas ibadah yang dijalani seseorang yang didorong oleh rasa syukurnya tentu sangat berbeda dengan kualitas ibadahnya bisnismen atau budak. Jika pebisnis beribadah sangat tergantung pada tebal tipisnya kantong, maka ibadahnya orang yang bersyukur tidak kenal situasi. Dalam segala kondisi, baik sedang sedih atau gembira, susah atau mudah, ia tetap menjalankan ibadah.
Mutu ibadahnya seorang budak sangat tergantung pada besar kecilnya upah, berat ringannya ancaman siksa, tapi bagi seorang yang beribadah didorong oleh manifestasi syukurnya, hal itu tidak menjadi masalah. Tanpa upah sedikitpun, ia tetap beribadah. Bahkan andaikata ia ditetapkan masuk neraka, ia tetap beribadah.
Bagi orang yang sudah pada tingkatan ini, permintaannya hanya satu, ridha Allah semata-mata. Tentang akan ditempatkan di mana, surga atau neraka itu tidak menjadi soal. Bukankah ia juga yakin bahwa Allah itu Maha Kasih dan Sayang. Tentu Allah tidak akan menempatkan kekasih yang diridhai-Nya di tempat yang menyengsarakannya. Mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang yang diridhai di dalam satu tempat yang diridhai, yaitu surga. Kepada mereka, Allah berseru:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr: 27-30)•
Sabtu, 26 Oktober 2013
Belajar lebih mendalam lagi
Salah satu hal yang penting
dalam kehidupan ini adalah sebuah proses untuk berbuat yang terbaik.
Kehidupan ini adalah hal yang
unik dan sekaligus menarik, kadang senang dan kadang susah, sesaat tersenyum
bahagia, suatu saat terpaksa harus menangis untuk meluluhkan jiwa, semuanya
saling berirama sejalan dengan kisah-kisah hidup yang nyata.
Untuk jiwa yang telah belajar
makna terdalam dari kehidupan ini, bahwa keterwujudan dalam dunia ini adalah
bagian dari perjalanan untuk kembali kepada keabadian yang hakiki
selama-lamanya, maka hiduplah untuk sesuatu yang dapat mendatangkan ridha dan
rahmat-Nya agar hidupmu senantiasa mendapatkan keberkahan dan kedamaian yang
tergantikan.
Tidak ada
yang harus ditakuti dalam menjalani kehidupan ini, dan memang seperti itulah
mestinya, kenapa kita harus takut dan apa juga yang ditakutkan? Bila ternyata
kehidupan ini akan senantiasa terus mengalir menuju setiap akhir kisahnya.
Kadang kita
terlalu berlebihan untuk memanjakan
perasaan kita tentang sesuatu yang masih belum terjadi tapi kita sudah
benar-benar takut, tidakkah semua apa yang kita pikirkan akan menentukan segala
sikap dan tingkah laku kita keseharian.
Jalanilah
apa yang semestinya untuk kita jalani, hadapi dengan ketegaran hati, terimalah
setiap ketentuan hidup ini untuk menebarkan kedamaian dalam lubuk hati dan
semangat perjuangan untuk tetap selalu bermakna dan berarti.
Ilmu Pembersih Hati
K.H. Abdullah Gymnastiar
--------------------------------------------------------------------------------
Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat.
Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.
Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri."
Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).
Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!
Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.
Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.
Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.
Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.
Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat.
Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat.
Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat.
Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.
Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?
Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.***
Untukmu Ibu
Untukmu ibu yang selalu tersenyum dalam setiap kisahku
Untukmu ibu yang selalu mendekapku dalam setiap kegelisahan
Untukmu ibu yang selalu berdoa dalam setiap langkahku
Untukmu ibu yang setia menanti setiap kisahku
Dan untukmu ibu perjuanganku saat ini
Hingga aku dapat menghapus air mata rasa harumu
Langganan:
Komentar (Atom)